Jerit Pedagang di Mal-mal DKI Jakarta yang Omzetnya Turun Hingga 50 Persen Akibat COVID-19
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Virus corona atau COVID-19 saat ini telah menjadi pandemik global. Tidak hanya sektor pariwisata dan manufaktur yang terdampak akibat mewabahnya virus ini, namun juga telah menyentuh sektor riil perekonomian Indonesia. Apalagi, setelah adanya imbauan dari pemerintah pusat untuk tak keluar rumah ataupun mendatangi keramaian.

Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) Budihardjo Iduansjah mengungkapkan telah terjadi penurunan bisnis pusat perbelanjaan sebagai dampak COVID-19. Secara besaran rupiah, ia belum bisa mengungkap jumlahnya, namun penurunan omzet tersebut menurutnya cukup signifikan.

"Kalau dari rupiah saya tidak bisa info, saya tidak ada datanya. Tapi traffic teman-teman penjual baju, tas, sepatu turun 50 persen. Februari itu paling berasa. Ini Maret udah jalan berapa minggu turunnya segitu. Jadi memang drop untuk DKI Jakarta," katanya, kepada VOI, di Jakarta, Selasa, 17 Maret.

Budihardjo berharap, pemerintah dalam hal ini pemerintah provisi (Pemprov) juga dapat membantu pengusaha di sektor riil. Sebab, dampak COVID-19 sangat besar terhadap pendapatan mal-mal di Jakarta.

"Ini yang kami minta sama Pemprov untuk bisa meringankan seperti saat kena banjir kemarin. Jadi kami minta keringanan untuk penyewa yang ada di mall yang tetap harus memberikan gaji karyawan apalagi ada THR. Kami kena pajak reklame, reklame dalam ruangan, pajak bumi dan bangunan (PBB). Mungkin Pemprov bisa mengeluarkan kebijakan yang bisa meringankan kami," jelasnya.

Menurut Budihardjo, saat ini toko-toko di mal-mal Jakarta berusaha mempertahankan karyawannya agar tak terjadi pemutus hubungan kerja (PHK). Namun, jika pemerintah tak kunjung memberikan bantuan, bukan tidak mungkin akan banyak toko yang tutup karena tak mampu menutup pengeluaran operasionalnya.

"Ya kami ajukan (permohonan), prinsipnya secepatnya pemerintah juga bisa melihat kesulitan kami selaku sektor riil yang karyawannya banyak. Menggerakan ekonomi setiap hari harus buka toko, kalau kami tidak bertahan kan akan menggangu ekonomi. Kalau sepinya terus sampai 50 persen itu akan berbahaya, bisa terjadi penutupan usaha," ucapnya.

Budihardjo menjelaskan, untuk tetap bisa bertahan di tengah penurunan omzet hingga 50 persen, para pengusaha mal-mal di Jakarta harus memberlakukan perubahan jam operasional.

"Jam buka kami kurangi. Kalau di mal mending buka siangan dan tutup pagian supaya biayanya tidak terlalu besar. Sebelumnya dua shift sekarang jadi satu long shift," tuturnya.

Perlu Insentif Sektor Riil

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, saat ini pemerintah juga harus memikirkan insentif pada ekonomi sektor riil.

"Retail juga penting untuk di-support bukan hanya sektor manufaktur," tuturnya.

Menurut Bhima, pemerintah bisa memberikan insentif berupa potongan harga atau diskon tarif listrik untuk pusat perbelanjaan sebesar 40 persen. Sehingga, bisa membantu biaya operasional perusahaan lebih ringan.

"Diskon PPh 21 untuk karyawan retail. Sebelumnya pemerintah hanya memberikan diskon PPh 21 untuk sektor industri manufaktur selama enam bulan," katanya.

Selain itu, lanjut Bhima, pemerintah dapat memberikan insentif berupa keringanan beban bunga dan cicilan pokok perbankan. "Semacam grace period, atau ada masa tenggang setelah jatuh tempo pembayaran tanpa penghitungan denda," tutur Bhima.