Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menyebut akibat pandemi COVID-19 dan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan pemerintah, pengusaha ritel merugi hingga Rp200 triliun.

"Kalau angka, kami itu setahun sekitar Rp400 triliun. Kalaupun hanya 50 persen (yang operasional) ya omzetnya turun Rp200 triliun, ya kerugiannya di situ. Tapi kan biayanya enggak bisa utuh," katanya, dalam diskusi virtual, Senin, 28 September.

Budi mengatakan, ada sekitar 1,5 juta tenaga kerja di pusat perbelanjaan yang terpaksa dirumahkan atau berkurang pendapatannya karena pengusaha tak mampu menutup pengeluaran dengan omzet yang mengalami penurunan.

Lebih lanjut, Budi berujar, angka tersebut merupakan setengah dari total pegawai pusat perbelanjaan yang jumlahnya mencapai tiga juta orang.

"Kalau dirumahkan itu kami anggap satu shift. Karena kan biasanya dua i. Kami belum ada detail. Tapi kami kemarin sudah dapat angka dari anggota, tapi baru sampai di angka 100 ribu pegawai yang berpotensi. Datanya belum lengkap, hanya dari 90 perusahaan yang melaporkan. Itu akan terjadi kemungkinan dirumahkan atau shifting alias berkurang pendapatannya," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan penurunan omzet terjadi karena kunjungan ke pusat perbelanjaan turun drastis.

Menurut Alphonzus, masyarakat saat ini masih khawatir tertular COVID-19 saat berbelanja. Kemudian, penyebab lainnya adalah merosotnya daya beli masyarakat.

"Khusus DKI, pada saat ini ditambah dua faktor lagi yakni pembatasan di mana-mana. Ditambah lagi restoran dan kafe tidak boleh melayani makan di tempat," katanya.

Padahal, kata Alphonzus, restoran dan kafe menjadi destinasi utama ketika masyarakat mengunjungi mal. Terlebih tidak semua makanan dan minuman bisa dipesan dan dibawa pulang atau take away.

Imbas dari PSBB ketat jilid II, kata dia, para penyewa yang berkecimpung di sektor food and beverages (FnB) atau makanan dan minuman akhirnya memilih menutup usaha mereka.

"Sementara kalau dipaksakan pun, biaya pendapatan tidak bisa menutup biaya operasional. Ini yang cukup mengkhawatirkan karena terpaksa merumahkan karyawan," ujarnya.