Bagikan:

JAKARTA - Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) mengatakan saat ini sektor ritel mengalami tekanan yang sangat berat imbas dari pandemi COVID-19 dan juga pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid II di DKI Jakarta. Karena itu pihaknya meminta bantuan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, berupa keringanan pajak.

Ketua Umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah mengatakan, pandemi yang masuk ke Indonesia sejak bulan Maret, hal ini menyebabkan omzet yang sangat turun. Bahkan, kondisi kas perusahaan yang juga sangat minim.

"Kami selaku sektor yang mempunyai kewajiban melakukan setoran pajak kepada pemerintah dan terhadap pusat belanja juga, kamipun mengalami situasi dan kondisi yang sangat sulit. Di mana sekarang ini kami juga ada tanggung jawab kepada karyawan," tuturnya, dalam diskusi virtual, Senin, 28 September.

Budi mengatakan, pada bulan Juni hingga Agustus sektor ritel dan tenant tengah berupaya melakukan perbaikan omzet yang sempat mengalami penurunan signifikan akibat PSBB ketat di DKI Jakarta. Perbaikan omzet, kata dia, sudah mulai terlihat saat diberlakukannya PSBB transisi.

Bahkan, lanjut Budi, sektor ritel dan tenant sudah mulai kembali untuk melakukan kewajibannya membayar pembayaran cicilan, termasuk juga melakukan storan pajak kepada pemerintah.

"Kami melakukannya. Kami harapkan ke depan menjadi lebih baik. Namun pada bulan September kemarin di Jakarta yang merupakan 50 persen kekuatan ekonomi daripada sektor ritel dan pusat belanja itu (memberlakukan) PSBB ketat jilid II. Restoran tidak bisa dine in," ucapnya.

Dampak dari PSBB ketat jilid II ini, kata Budi, tidak hanya dirasakan oleh restoran yang mana 90 persen penghasilannya dari dine in atau makan di tempat. Namun, tenant lainnya di dalam mal juga ikut terkena imbasnya karena mal mengalami penurun pengunjung.

"Karena tidak lah mungkin orang ke mal, tetapi setelah belanja baju atau sepatu tidak bisa ke cafe. Mereka akhirnya mengurungkan untuk ke mal. Sedangkan dari Hippindo sudah sangat konsentrasi untuk mendatangkan traffic ke pusat belanja dengan faktor protokol kesehatan yang sangat kuat, di mana kami sudah menginvestasikan banyak tenaga dan dana agar pemulihan ekonomi nasional dapat kembali terlaksana," jelasnya.

Bahkan, kata dia, pihaknya juga sudah bekerjasama secara berlapis dengan pusat perbelanjaan guna memastikan konsumen datang ke pusat-pusat belanja aman dan sehat. Mulai dari supermarket, salon sampai toko-toko makanan.

"Dan memang kami buktikan dengan klaster-klaster yang terjadi yang timbul di pusat perbelanjaan itu sangat kecil, tidak yang besar. Dan besar harapan kami untuk memulihkan ekonomi dari ritel dulu. Kalau ritelnya kena, tidak ada omzet, bagaimana kami melakukan kewajiban kami ke setoran pajak," ucapnya.

Bantuan Relaksasi Pajak

Budi mengatakan, total omzet dari sektor ritel mencapai lebih dari Rp400 triliun. Bahkan, kewajiban pembayaran pajak kepada pemerintah pun ditunaikan dengan baik selama bertahun-tahun. Di tengah situasi sulit ini, kata dia, sektor ritel butuh bantuan pemerintah.

"Kami sudah berupaya sejak maret sampai bulan delapan ini dan itu adalah perjuangan maksimal kami. Kami memohon kepada pemerintah membantu dengan langsung. Di sini kami meminta pembebasan pajak-pajak yang memberatkan situasi sekarang ini. Supaya kami bisa tidak terlalu besar kewajiban untuk setoran-setoran tersebut," ucapnya.

Adapun relaksasi pajak yang diminta mulai dari pajak final atas sewa 10 persen, PPh pasal 21, pasal 23 dan pasal 25, PPh 22 impor, restitusi PPN dipercepat.

Kemudian, untuk Pemda Hippindo mengajukan ajukan pajak PB 1, PBB, pajak reklame indoor dan outdoor, pajak hiburan, pajak parkir.

"Termasuk juga sebenarnya pajak paten untuk merk dan sebagainya, yang mana semua pajak-pajak itu kita alokasikan untuk pemulihan ekonomi toko-toko itu tetap bisa buka jangan sampai timbul dan penutupan toko dan PHK," tuturnya.

Menurut Budi, jika sektor ritel tidak diselamatkan dan akhirnya tutup, maka akan sangat sulit untuk menggerakan kembali sektor ini. Padahal, perekonomian nasional disumbang oleh sektor ini.

"Kami merasa sudah saatnya, waktu itu sangat cepat. Harus cepat tindakan tindakan yang dilakuka pemerintah karena ini sudah lampu merah," katanya.

Tak hanya itu, Budi mengatakan, pihaknya juga mengajukan bantuan tunai kepada karyawan kami. Hal ini penting, sehingga pengusaha ritel bisa berkurang kewajiban dalam hal untuk penggajian karyawan.

"Dengan adanya pengurangan kewajiban kami untuk membayar karyawan seperti di Singapura, seperti di negara lain di mana sektor ritel dijaga supaya bertahan. Kami bisa mengalokasikan untuk tetap bertahan, tidak tutup toko, membayar supplier, membayar kepada pihak mal dan juga kepada pihak pemerintah," ucapnya.