JAKARTA - Presiden Recep Tayyip Erdogan menegaskan Israel akan membayar kekejaman yang mereka lakukan selama enam bulan terakhir di Jalur Gaza, saat jumlah korban tewas warga Palestina di wilayah itu tembus 33.600 jiwa.
Direktur Komunikasi Kepresidenan Turki Fahrettin Altun mengatakan pada Hari Jumat, Presiden Erdogan mengatakan hal tersebut saat melakukan panggilan telepon dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Menurut Altun, Presiden Erdogan meyakinkan Presiden Abbas, Turki akan terus berdiri teguh melawan "serangan biadab" Israel di Gaza, wilayah kantong Palestina yang berada di bawah blokade ilegal Israel selama 17 tahun, serta berbulan-bulan serangan Israel yang tiada henti, menewaskan puluhan ribu orang, kebanyakan wanita dan anak-anak.
"Presiden telah menggarisbawahi bahwa segala cara, termasuk resolusi Dewan Keamanan PBB, harus dikerahkan untuk mencapai gencatan senjata. Israel perlu diperangi dengan solidaritas penuh,” kata Altun kepada stasiun televisi negara Turki, TRT Haber, melansir Daily Sabah 12 April.
Presiden Erdogan menjadi salah satu pengkritik Israel yang paling keras sejak dimulainya perang di Gaza dan pembela setia perjuangan Palestina, termasuk mengadakan pembicaraan dengan para pejabat Palestina, Israel dan Hamas.
Pemimpin Turki itu telah menyatakan dukungan penuh untuk Hamas, menolak sikap Barat yang mengklasifikasikannya sebagai organisasi teroris.
Ia juga menyebut Israel sebagai "negara teroris" dan menuduhnya melakukan "genosida" di Gaza.
Terpisah, Kementerian Kesehatan di Gaza melaporkan pada Hari Jumat, jumlah korban tewas warga Palestina akibat serangan Israel di wilayah tersebut telah mencapai 33.634 orang, dengan 89 orang tewas dalam 24 jam terakhir.
BACA JUGA:
Pihak kementerian juga mencatat, sekitar 76.214 orang telah terluka sejak konflik terbaru pecah usai kelompok militan Hamas menyerang wilayah selatan Israel pada 7 Oktober.
Diketahui, serangan Israel di Gaza telah menyebabkan 85 persen penduduk wilayah tersebut mengungsi di tengah-tengah kekurangan makanan, air bersih dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di daerah kantong tersebut telah rusak atau hancur, menurut PBB.