WHO: Satu dari Enam Anak Sekolah Terkena Dampak <i>Cyberbullying</i>
Ilustrasi siber. (Unsplash/Stillness InMotion)

Bagikan:

JAKARTA - Hampir satu dari setiap enam anak sekolah, atau sekitar 16 persen anak-anak berusia 11 hingga 15 tahun mengalami penindasan maya pada tahun 2022, naik dari 13 persen empat tahun lalu, menurut laporan WHO Eropa yang mencakup 44 negara.

"Laporan ini merupakan seruan bagi kita semua untuk mengatasi penindasan dan kekerasan, kapan pun dan di mana pun hal itu terjadi," kata Direktur Regional WHO untuk Eropa Hans Kluge, dalam sebuah pernyataan, dilansir dari Daily Sabah 28 Maret.

Menurut penelitian yang berjudul "Perilaku Kesehatan pada Anak Usia Sekolah", sekitar 15 persen anak laki-laki dan 16 persen anak perempuan melaporkan pernah mengalami cyberbullying setidaknya sekali dalam beberapa bulan terakhir

Lebih jauh badan PBB tersebut mencatat, pandemi COVID-19 telah mengubah cara remaja berperilaku terhadap satu sama lain.

"Bentuk-bentuk kekerasan dalam dunia maya menjadi sangat relevan sejak awal pandemi COVID-19, ketika dunia anak muda menjadi semakin virtual selama masa lockdown," kata laporan itu.

Lebih jauh WHO menjelaskan, tingkat cyberbullying tertinggi dialami oleh anak laki-laki di Bulgaria, Lituania, Moldova dan Polandia. Sedangkan tingkat terendah dilaporkan di Spanyol, lanjut badan itu tanpa memberikan data rinci.

"Dengan generasi muda yang menghabiskan waktu hingga enam jam untuk online setiap hari, perubahan kecil sekalipun dalam tingkat penindasan dan kekerasan dapat berdampak besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan ribuan orang," kata Kluge.

Satu dari delapan remaja mengaku melakukan penindasan maya terhadap orang lain, meningkat tiga poin persentase dari tahun 2018, kata laporan itu.

Di sebagian besar tempat, cyberbullying mencapai puncaknya ketika anak-anak berusia 11 tahun untuk laki-laki dan 13 tahun untuk perempuan.

Status sosio-ekonomi orang tua tidak memberikan banyak perbedaan pada perilaku anak-anak, demikian temuan laporan tersebut.

Namun Kanada merupakan pengecualian, karena generasi muda yang kurang beruntung lebih mungkin mengalami perundungan.

Di sana, 27 persen anak perempuan yang termasuk dalam 20 persen keluarga paling makmur mengatakan bahwa mereka pernah menjadi sasaran perundungan di sekolah, dibandingkan dengan 21 persen anak perempuan yang termasuk dalam 20 persen keluarga paling makmur.

Penindasan lainnya sebagian besar tetap stabil, hanya dengan sedikit peningkatan.

Sekitar 11 persen anak laki-laki dan perempuan melaporkan pernah mengalami perundungan di sekolah setidaknya dua atau tiga kali sebulan dalam beberapa bulan terakhir, dibandingkan dengan 10 persen pada empat tahun lalu.

Sementara itu, jumlah remaja yang terlibat perkelahian fisik tetap stabil selama periode empat tahun, yakni sebesar 10 persen – 14 persen untuk laki-laki dan 6 persen untuk perempuan.

Dikatakan, penelitian ini didasarkan pada data dari 279.000 anak-anak dan remaja dari 44 negara di Eropa, Asia Tengah dan Kanada.

Mengingat masalah ini tersebar luas, laporan tersebut menyerukan upaya yang lebih besar untuk meningkatkan kesadaran.

"Dibutuhkan lebih banyak investasi dalam pemantauan berbagai bentuk kekerasan teman sebaya," katanya.

"Ada juga kebutuhan mendesak untuk mendidik generasi muda, keluarga dan sekolah mengenai bentuk-bentuk cyberbullying dan implikasinya, sekaligus mengatur platform media sosial untuk membatasi paparan terhadap cyberbullying," pungkasnya.