Pemimpin Junta Militer Sebut Pemilu Myanmar Berikutnya Kemungkinan Tidak Digelar Secara Nasional
Jenderal Senior Min Aung Hlaing. (Wikimedia Commons/Vadim Savitsky)

Bagikan:

JAKARTA - Jenderal tertinggi militer Myanmar mengatakan, negaranya berencana mengadakan Pemilu jika situasi di sana ada stabilitas dan perdamaian, namun mungkin tidak dapat digelar secara nasional, ketika junta berjuang untuk membendung pemberontakan di berbagai bidang.

Militer, yang berkuasa sejak kudeta tiga tahun lalu, masih berencana mengembalikan negara itu ke pemerintahan demokratis, kata Pemimpin Junta Jenderal Senior Min Aung Hlaing kepada kantor berita Rusia TASS, menurut transkrip wawancara yang disiarkan oleh media Pemerintah Myanmar.

"Jika negara ini damai dan stabil, kami memiliki rencana untuk menyelenggarakan pemilu di wilayah terkait sebanyak yang kami bisa, meskipun pemilu tersebut tidak diadakan secara nasional berdasarkan undang-undang," kata Jenderal Senior Min Aung Hlaing, melansir Reuters 25 Maret.

Junta sebelumnya telah berulang kali memperpanjang peraturan darurat setiap enam bulan, dengan alasan perlunya menstabilkan negara dan menghancurkan lawan-lawannya, yang digambarkan sebagai teroris.

Diketahui, para jenderal menghadapi tantangan terbesar mereka sejak pertama kali mengambil alih kekuasaan di bekas jajahan Inggris tersebut pada tahun 1962, dengan pemberontakan pro-demokrasi yang dipimpin oleh kaum muda berubah menjadi gerakan perlawanan bersenjata setelah tindakan keras yang mematikan terhadap gelombang protes.

Militer Myanmar telah melancarkan kembali beberapa pertempuran tertua mereka dengan tentara etnis minoritas di Myanmar utara dan timur, dituduh oleh para penentangnya melakukan kekejaman sistematis, namun hal ini dibantah oleh militer.

Mereka telah mengerahkan artileri berat dan jet tempur untuk mencoba menekan milisi yang bersekutu dengan pemerintah bayangan dan pemberontak etnis minoritas, dengan lebih dari 2,3 juta orang mengungsi sejak kerusuhan pasca kudeta, menurut PBB.

Sementara, para pengkritik dan negara-negara Barat mengatakan pemilu di Myanmar akan sia-sia, dengan lebih dari 40 partai dibubarkan sejak kudeta dan peraturan yang melarang membuat partai baru sulit untuk membentuk atau menantang perwakilan militer.