Bagikan:

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian atas gugatan yang diujikan oleh 11 kepala daerah terkait dengan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno untuk perkara dengan nomor: 27/PUU-XXII/2024 dilansir ANTARA, Rabu, 20 Maret.

UU Pilkada yang digugat adalah ketentuan Pasal 201 ayat (7), (8), dan (9) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Dalam putusannya, MK menilai Pasal 201 ayat (7) yang menyatakan "Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024" bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

MK pun memerintahkan norma pasal tersebut diubah menjadi "Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melewati 5 tahun masa jabatan".

Terkait dengan Pasal 201 ayat (8), pemohon meminta norma dalam pasal tersebut diganti agar pilkada serentak terbagi menjadi dua gelombang, yaitu gelombang pertama pada bulan November 2024 untuk 276 kepala daerah yang mengakhiri masa jabatan pada tahun 2022 dan 2023, kemudian gelombang kedua pada bulan Desember 2025 untuk 270 kepala daerah hasil Pilkada Tahun 2020, dinilai oleh hakim tidak beralasan secara hukum.

 

"Permohonan berkenaan dengan norma Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengakibatkan berubahnya jadwal pemungutan suara serentak secara nasional adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Selain itu, lanjut dia, dalil yang diajukan para pemohon mengenai Pasal 201 ayat (9) UU Nomor 10 Tahun 2016 terkait dengan pengisian kekosongan jabatan tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

"Menurut Mahkamah, dalil para pemohon mengenai Pasal 201 ayat (9) UU Nomor 10 Tahun 2016 adalah tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut sehingga tidak beralasan menurut hukum," ujarnya.

Sementara itu, terdapat pendapat berbeda atau dissenting opinion oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Foekh terhadap putusan MK tersebut.

"Saya berpendapat bahwa Mahkamah semestinya melanjutkan pemeriksaan perkara a quo ke tahap sidang pleno untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif dan akurat," ucapnya.