Bagikan:

JAKARTA – Perbedaan perolehan suara antara PDI Perjuangan dengan Ganjar Pranowo dalam hasil hitung cepat Pemilu 2024 dinilai karena faktor kedekatan masyarakat yang rendah dengan PDI Perjuangan.

“Jadi kalau berdasarkan hasil hitung cepat berbagai lembaga survei menunjukkan Ganjar angkanya 16 persen, sementara PDIP 17-18 persen,” tutur pengamat politik UGM, Arya Budi, Minggu 18 Februari.

Menurut dia, berdasarkan pengalaman Pemilu 2004 hingga 2019, capres terpilih mampu mengangkat partai pengusung atau memberi coat-tail effect. Contohnya seperti saat SBY dan Jokowi terpilih, keduanya mengangkat Partai Demokrat dan PDIP.

“Nah 2024 ini aneh, kenapa? Karena Ganjar suaranya sepertinya sama dengan atau lebih kecil dari PDIP. Aneh dalam skala nasional tapi tidak dalam kasus kecil,” ungkapnya.

Arya menilai, hal ini terjadi karena adanya split ticket voting, di mana pemilih memberikan suara yang berbeda untuk partai dan capres. “Nah jadi PDIP memiliki problem antara figur capres dan partai. Pemilihnya secara psikologis memahami bahwa capres dan partai itu dua hal berbeda,” imbuhnya.

Dia menjelaskan, fenomena split ticket voting itu terjadi karena masyarakat memiliki kedekatan dengan partai yang rendah.

“Di Indonesia, orang yang punya kedekatan partai hanya sekitar seperlima atau kurang, 20 persen atau kurang jika di luar periode pemilu, itu angkanya hanya kisaran 10 persen. Nah sisanya orang swing jadi memilih capres dan partai itu dua entitas politik berbeda,” bebernya.

Faktor lain, yakni terkait dengan caleg. Arya menyatakan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Pemilu 2014 dan 2019 suara partai banyak disumbang oleh pemilih para caleg.

“Suara PDIP itu bisa jadi disumbang sangat besar oleh para calegnya. Sementara simpatisan atau pemilih yang memilih caleg dari PDIP bisa jadi mereka memilih capres yang lain,” kata dia.