Tanggapi Film Dirty Vote, Timnas AMIN: Rencana Kecurangan Pemilu Tak Didesain Semalam
Potongan cuplikan film dokumenter Dirty Vote (VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Juru Bicara Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin (Timnas AMIN) Iwan Tarigan menanggapi perilisan film Dirty Vote yang mengulas dugaan kecurangan dan nepotisme dalam Pemilu 2024.

Iwan memandang, film ini bisa mengungkap indikasi bahwa pelaksanaan pemilu diwarnai dengan permainan politik kotor demi mewujudkan kepentingan golongan dan kelompoknya.

"Kami melihat semua rencana kecurangan Pemilu ini tidak didesain dalam semalam, juga tidak didesain sendirian, tetapi terencana dengan baik dan butuh waktu yang tidak sebentar dan dana yang sangat besar," kata Iwan kepada wartawan, Senin, 12 Februari.

Iwan menduga, desain kecurangan yang disusun bersama-sama ini akhirnya jatuh ke tangan satu pihak yakni pihak yang sedang memegang kunci kekuasaan, di mana ia dapat menggerakkan aparatur dan anggaran.

"Dari film dokumenter ini, masyarakat bisa melihat bagaimana penguasa Kotor, culas dan tidak beretika mempermainkan demokrasi, hukum dan mengatur semuanya, baik pemerintah daerah, kepala desa, MK, Bawaslu, KPK, KPU, dan kepolisian untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya," cecarnya.

Dirty Vote merupakan film dokumenter eksplanatori yang mengungkap dugaan kecurangan pemilu yang dipaparkan oleh tiga pakar hukum tata negara, yakni Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari.

Ketiga ahli hukum ini menerangkan praktik nepotisme menggunakan instrumen kekuasaan dengan tujuan memenangkan Pemilu 2024 oleh para penguasa.

Kasus-kasus nepotisme yang ditanggapi Bivitri, Zainal Arifin, dan Feri dibeberkan lewat dokumen foto, video, maupun potongan berita. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.

Menurut Bivitri, film Dirty Vote adalah sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.

“Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung. Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi. Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” urai Bivitri dalam keterangannya, Minggu, 11 Februari.

Melanjutkan, Feri menegaskan bahwa film Dirty Vote memberi pesan pengingat kepada rezim bahwa kekuasaan negara ada batasnya. Menurutnya, membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini.

"Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” jelas Feri.

Dokumenter Dirty Vote disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono. Ini merupakan film keempat yang disutradarainya mengambil momentum pemilu.