Bagikan:

JAKARTA – Pemberian bantuan sosial (bansos) menjelang Pemilu 2024 dianggap sebagai alat politik pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sebab, anggaran bansos yang mencapai Rp500 triliun atau terbesar selama reformasi disebut tidak didukung oleh data kemiskinan yang sudah menurun meski tidak signifikan.

Guru Besar Universitas Paramadina, Didin S Damanhuri mengungkapkan, seharusnya jika bansos dikucurkan dengan anggaran sangat besar menandakan jika angka kemiskinan di Indonesia kembali meningkat. Padahal, angka kemiskinan saat ini sudah agak menurun.

“Ini salah satu tanda bansos telah menjadi alat politik. Apalagi sekarang dibagikan menjelang Pilpres 2024, dan disering dibagikan langsung oleh presiden,” ujarnya, Kamis 8 Februari.

“Padahal kuasa pemegang anggaran dalam hal ini Menteri Sosial yang tidak dalam keadaan berhalangan atau sakit. Bahkan tidak mendampingi Jokowi ketika bansos dibagikan. Itu memperkuat adanya proses politisasi bansos untuk kepentingan Pilpres,” sambungnya.

Menurut Didin, dari tinjauan ekonomi politik selama lima tahun terakhir, ada gejala Indonesia sedang memasuki fase neo-otoritarianism. Bahkan, beberapa pihak sudah memastikan gejala-gejala itu dengan bukti-bukti yang sangat kuat.

“Sejak 2014 Presiden Jokowi tampil dengan program-program nyata dan populis. Tapi masuk periode ke-2 pada 2019, Jokowi masuk pada proses-proses yang disebut Neo Otoritarian. Indikasinya parlemen yang pro kekuasaan semula 65 menjadi 85 persen,” ungkapnya.

Akibatnya, terjadi pelumpuhan mekanisme check and balance di parlemen dalam mengontrol proses legislasi dan lainnya, sehingga ada delapan UU yang diduga tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak seperti UU KPK, UU Minerba, UU Ciptaker, UU Kesehatan dan lainnya.

“Jadi, pemberian bansos sebagai salah satu instrumen pemenangan politik adalah bagian dari wujud konstruksi politik otoritarian,” kata Didin.