JAKARTA - Pada debat calon presiden tanggal 7 Januari 2024, isu-isu strategis seperti pertahanan, geopolitik, dan hubungan internasional menjadi fokus perdebatan. Namun, menurut Fadli Zon dua calon presiden Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan tampak lebih tertarik menyerang lawan politiknya daripada memberikan gagasan-gagasan konstruktif.
Dalam pandangan Wakil Ketua Dewan Pembina dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon keberhasilan dalam debat seringkali diukur dari kemampuan untuk menarik perhatian melalui serangan verbal.
Namun, ia mencatat bahwa serangan tersebut dapat memiliki dampak lebih luas daripada yang terlihat, terutama terhadap institusi pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pertama, Fadli Zon menyoroti serangan terus-menerus terhadap Prabowo terkait alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang disebut "bekas" atau "usang."
Menurutnya, serangan semacam ini kurang memahami kompleksitas politik dan industri pertahanan, di mana pembuatan alutsista tidak seperti pembelian barang massal di toko.
Ia menjelaskan bahwa produksi alutsista membutuhkan waktu minimal 3 tahun, dan tidak semua negara dapat membeli alutsista dengan mudah.
“Ucapan-ucapan insinuatif seperti “alutsista-bekas”, atau “usang”, yang terus-menerus diulang, dengan maksud mendiskreditkan Prabowo, menurut saya adalah pelecehan dan blunder," kata Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya dari Teheran, Iran yang diterima Kamis, 11 Januari.
"Mereka berpikir hanya dengan ‘common sense’, tak mengerti soal politik dan industri pertahanan yang sebenarnya,” sambung Fadli Zon.
Kedua, Fadli Zon mencatat pernyataan Anies Baswedan terkait anggaran alutsista sebesar Rp700 triliun. Ia menilai pernyataan ini konyol dan dapat menyesatkan publik, karena angka tersebut sebenarnya merupakan akumulasi anggaran Kementerian Pertahanan selama lima tahun, bukan anggaran tahunan.
Fadli Zon menekankan bahwa pengetahuan yang dangkal dapat merugikan persepsi publik terhadap manajemen anggaran pertahanan.
Ketiga, Fadli Zon menyoroti penggunaan indeks seperti Global Peace Index (GPI), Global Militarisation Index (GMI), dan Asia Power Index (API) oleh Ganjar Pranowo.
"Indeks-indeks tersebut tidak sepenuhnya relevan untuk mengukur kinerja Kementerian Pertahanan. Bahwa interpretasi yang kurang tepat dapat memberikan citra negatif yang tidak sebenarnya," jelasnya.
Keempat, Fadli Zon menanggapi kritik Anies Baswedan terhadap keterlibatan ASEAN dalam menangani gangguan RRC di Laut Cina Selatan. Ia menegaskan bahwa Anies tampak tidak memahami organisasi ASEAN dan memberikan kritik yang tidak berdasar.
Kata dia, untuk sekadar membuat pernyataan dan mendesak Myanmar saja ASEAN tak bisa, apalagi melakukan intervensi kemanusiaan. ASEAN dibelenggu oleh sistem konsensus dan prinsip non-interference yang ada di dalam statutanya.
"Jadi, lontaran Anies mengenai pelibatan ASEAN itu menurut saya seperti lontaran anak sekolah menengah. Kelihatan keren, tapi tak punya basis pemahaman atas persoalan yang kuat,” jelas Fadli Zon.
BACA JUGA:
Terakhir, Fadli Zon membahas kontroversi seputar tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki oleh Prabowo. Ia mengingatkan bahwa tanah tersebut adalah kepunyaan perusahaan, bukan milik pribadi Prabowo. Menurut Fadli Zon, menyudutkan Prabowo dengan isu ini adalah tindakan yang jahat, terutama jika melibatkan prajurit TNI.
Fadli Zon menekankan bahwa debat Pilpres seharusnya fokus pada substansi persoalan strategis, bukan lomba debat sekolahan. Ia mendukung pandangan Prabowo bahwa kekuatan domestik, ekonomi, dan militer secara keseluruhan akan mempengaruhi diplomasi pertahanan dan pengaruh Indonesia dalam peta geopolitik.