Bagikan:

JAKARTA - Mewabahnya virus corona atau COVID-19 mengakibatkan perlambatan industri manufaktur global. Namun, industri manufaktur Indonesia ternyata masih bisa berekspansi dengan Purchasing Managers Index (PMI) mencapai 51,9 pada Februari 2020.

Peningkatan PMI ini disebabkan terjadinya pemindahan order dari China ke Indonesia. Namun, peluang peningkatan order ini tidak bisa maksimal lantaran pasokan bahan baku industri yang semakin menipis.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, nilai PMI Manufaktur Indonesia yang mencapai 51,9 merupakan yang tertinggi dalam 6-7 bulan terakhir. PMI Manufaktur Indonesia juga masih lebih tinggi disaat negara-negara lain mengalami penurunan.

"Indonesia punya momentum yang bagus karena di bulan Februari ini, persis Purchasing Manager Index kita ini 51,9. Sedangkan seluruh negara lain bahkan China itu turun ke 35,7. Jadi, mereka relatif berhenti. China, Vietnam, Hongkong, Jepang semuanya di bawah 50," katanya, di acara Omnibus Law: Terobosan Pemerintah bagi Pertumbuhan Ekonomi, di Hotel Four Season, Gatot Subroto, Jakarta, Kamis, 5 Maret.

Airlangga mengungkap, pemindahan order dari China ke Indonesia ini terjadi di beberapa sektor, untuk ekspor mulai dari otomotif, elektronik, tekstil, hingga alas kaki.

"Momentum ini yang mau dipakai Pak Presiden yang mendorong bahwa untuk impor, ekspor, itu harus kita utamakan. Sehingga momentum orang melihat Indonesia sebagai negara besar di Asean, yang punya kemampuan supply chain itu digunakan, sebagai engine berikutnya untuk pertumbuhan di regional," jelasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Rosan Roeslani menjelaskan, peningkatan order memang sempat terjadi di awal tahun. Tetapi untuk saat ini kondisinya justru sedang berat.

Menurut Rosan, hal ini karena bahan baku industri mayoritas diimpor dari China, sementara di negara tersebut aktivitas produksi sempat terhenti.

"Pak Menko Perekonomian kan menyampaikan awalnya meningkat (order), tetapi sekarang ini terjadi shock di sisi supply, demand, dan produksi. Tiga hal ini sekarang mengalami perlambatan. Ini yang saat ini dikhawatirkan teman-teman industri. Mereka bilang persediaan bahan bakunya rata-rata tinggal satu bulan lagi," jelasnya.

Terhambatnya supply dan demand dari China, kata Rosan, efeknya besar bagi Indonesia. Apalagi, tidak mudah untuk mencari negara pengganti untuk memperoleh bahan baku yang dibutuhkan.

"Untuk mencari negara pengganti itu tidak gampang. Dari spek tidak gampang dan mereka mengalami short dari barang-barang mereka, dari barang baku dan barang penolong. Impor kita 80 persenan bahan baku dan barang penolong. Ini yang harus bisa diantisipasi baik jangka pendek, menengah panjangnya," ucapnya.