Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah tengah menggencarkan intervensi penurunan stunting di Indonesia. Targetnya, angka stunting pada 2014 bisa turun hingga mencapai 14 persen. Namun, saat ini, prevalensi stunting di Indonesia masih 21,6 persen.

Guru besar gizi Universitas Muhammadiyah Tria Astika menguraikan, sampai saat ini masih ada keluarga yang belum bisa memahami gizi yang baik. Mereka cenderung tak memperhatikan asupan gizi anak.

"Sehingga anak terbiasa mengkonsumsi makanan yang mereka suka, seperti makanan dan minuman dengan kandungan gula garam lemak yang tinggi," kata Tika dalam keterangannya, Minggu, 17 Desember.

Menurut Tika, kebiasaan konsumsi pangan mengandung gula tinggi, masyarakat minim literasi gizi, sosial ekonomi masyarakat menjadi faktor penentu keberhasilan penurunan prevalensi stunting di Indonesia.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebanyak 11,4 persen balita di Banten, 8,4 persen di DKI Jakarta, dan 5,3 persen di DI Yogyakarta mengonsumsi kental manis.

Tidak hanya itu, sebanyak 78,3 persen responden di Banten, 88,1 persen di DKI Jakarta, dan 95,2 persen di DI Yogyakarta memberikan kental manis kepada balitanya lebih dari 1 sachet perhari.

Adapun faktor utama pemberian kental manis pada anak ini disebabkan oleh persepsi masyarakat di tiga wilayah ini yang masih menganggap kental manis adalah susu.

“Mengapa studi ini menjadi penting, pola makan yang terbentuk sejak balita akan terbawa terus hingga dewasa, sehingga kebiasaan memberikan kental manis untuk anak dan balita ini harus dicegah sedini mungkin supaya tidak berlanjut," urai Tika.

Roesmarni Rusli dari Repdem, dalam kesempatan itu mempertanyakan mekanisme pengawasan peredaran produk dengan kandungan gula yang tinggi di masyarakat.

“Produk kental manis ini berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018, sudah diatur bahwa pada labelnya tidak boleh menyertakan kata susu, seharusnya ditulis krimer kental manis. Sekarang, kalau kita lihat, pada kemasan kental manis kembali lagi mencantumkan susu kental manis, ini apakah BPOM kembali merubah peraturannya atau memang tidak ada pengawasan terhadap ini?” imbuhnya.

Menambahkan, Ketua bidang advokasi Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), Yuli Supriati menyoroti kampanye penanganan stunting yang selama ini di gaungkan tidak berdasar pada persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.

“Selama ini narasi mengatasi stunting adalah dengan ASI ekslusif. Ibu itu bukannya tidak mau memberikan ASI ekslusif untuk anaknya, tapi karena tidak mampu, karena bekerja, karena kondisi kesehatan dan ibu meninggal. Anak-anak yang tidak mendapat ASI ekslusif ini larinya ke kental manis,” jelas Yuli.