Bagikan:

JAKARTA - Situasi di zona konflik Ukraina menunjukkan dengan jelas, harapan Barat untuk memberikan kekalahan strategis pada Rusia jelas tidak realistis, kata Direktur Badan Intelijen Luar Negeri (SVR) Rusia, Sergey Naryshkin.

Menurut Naryshkin, Ukraina adalah titik kunci dari upaya subversif Barat di wilayah tersebut.

“Sekarang Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya secara sinis menggunakan penduduk negara itu sebagai umpan meriam dalam agresi mereka terhadap Rusia. Dengan mengirimkan senjata dan peralatan militer yang tak ada habisnya ke rezim Kyiv, Amerika dan Eropa mencoba untuk menyerang Moskow, apa yang Barat biasa gambarkan sebagai kekalahan strategis, namun situasi nyata di lapangan menunjukkan mimpi seperti itu sia-sia," katanya pada pertemuan ke-19 para kepala badan keamanan dan intelijen negara-negara anggota CIS, dilansir dari TASS 15 Desember.

"Saat ini pihak Barat merumuskan tujuan mereka dengan cara yang berbeda: 'Rusia tidak boleh dibiarkan menang.' Namun mereka juga harus meninggalkan dalil ini," lanjut Naryshkin.

Labih jauh Naryshkin menekankan, patut dicatat bahwa badan intelijen AS dan Inggris juga memusatkan upaya mereka untuk menemukan tentara bayaran yang bersedia mengambil bagian dalam peperangan di pihak Kyiv.

"Pihak Barat sangat mementingkan penempatan dan memastikan kesiapan tempur batalyon etnis dari negara-negara CIS. Beberapa anggota mereka dianggap sebagai cadangan untuk melakukan tindakan subversif dan sabotase di wilayah tidak hanya Rusia, tetapi juga negara-negara CIS lainnya, termasuk selama kampanye pemilu yang penting," urainya.

Naryshkin menekankan, dengan latar belakang ini, masalah terorisme internasional harus tetap menjadi fokus. Relevansi tugas ini semakin meningkat tidak hanya dalam konteks penyebaran ide-ide ekstremisme agama, namun juga mengingat adanya sinyal-sinyal yang masuk tentang niat Anglo-Saxon untuk sekali lagi menggunakan kelompok radikal dalam mencapai tujuan mereka.

"Risiko penetrasi para pendukung ideologi ekstremis dan pengalaman teroris dari Afghanistan, Irak, Libya, Suriah dan sekarang Palestina ke wilayah negara-negara CIS sangat tinggi," sebut Naryshkin memperingatkan.