JAKARTA - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengatakan Filipina menjadi pihak yang bertanggung jawab atas terciptanya ketegangan di Laut China Selatan.
"Tanggung jawab atas keadaan darurat yang terjadi baru-baru ini di perairan sekitar Ren'ai Jiao sepenuhnya berada di tangan Filipina," kata Mao Ning saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China dilansir ANTARA, Senin, 11 Desember.
Pulau karang yang dikenal sebagai "Ren'ai Jiao" oleh China dan disebut "Beting Ayungin" dalam sebutan Filipina merupakan bagian dari Kepulauan Spratly yang disengketakan kedua negara. Kepulauan Spartly adalah sebuah kepulauan besar yang diklaim oleh China dan beberapa negara Asia lain di Laut China Selatan.
Diketahui pada Minggu (10/12), kapal-kapal China menembakkan meriam air ke tiga kapal Filipina untuk mengirimkan pasokan kepada para nelayan di Scarborough Shoal, kemudian terjadi juga tabrakan antara kapal Filipina dan China di Second Thomas Shoal, tempat sejumlah tentara Filipina ditempatkan di kapal perang BRP Sierra Madre sebagai "markas terapung" sejak 1999 bagi penjaga pantai Filipina walau China sudah memprotes hal tersebut.
"Hal ini sangat melanggar kedaulatan China dan membahayakan keselamatan kapal dan personel China. Penjaga Pantai China (CCG) sudah mengambil tindakan hukum yang diperlukan terhadap kapal Filipina sesuai dengan hukum dalam negeri dan internasional dan Kementerian Luar Negeri China telah mengajukan démarche (protes) serius sebagai protes keras kepada Filipina," ujar Mao Ning.
Mao Ning lalu menekankan Ren'ai Jiao adalah bagian dari Nansha Qundao (Kepulauan Spratly) sebagai bagian dari China.
"China memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan atas Nansha Qundao, termasuk Ren'ai Jiao, dan perairan sekitarnya. Hal ini terjadi dalam perjalanan sejarah yang panjang dan konsisten dengan hukum internasional termasuk Piagam PBB," papar Mao Ning.
Akar permasalahan ketegangan di perairan tersebut, menurut Mao Ning, adalah Filipina yang telah mengingkari janjinya dan menolak untuk menarik kapal perang yang ditempatkan secara ilegal di terumbu karang tersebut dan berusaha memperkuatnya dalam skala yang lebih besar agar dapat menduduki Ren'ai Jiao secara permanen.
"China dengan tegas menentang upaya Filipina untuk menduduki Ren'ai Jiao dan telah menegaskan sikap ini di berbagai kesempatan. Kami juga menuntut agar Filipina tidak mengirimkan bahan-bahan konstruksi ke kapal perang tersebut," ungkap Mao Ning.
Mao Ning mengatakan Filipina juga melanggar hukum internasional dan ketentuan Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan (DOC) maupun kedaulatan teritorial serta hak dan kepentingan maritim China.
"Kami sekali lagi mendesak Filipina untuk berhenti melanggar kedaulatan China dan melakukan tindakan provokatif, berhenti menyerang dan menjelek-jelekkan China tanpa dasar, dan menghindari merusak perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan," ucap Mao Ning.
Pemerintah China, menurut Mao Ning, sudah berupaya untuk meningkatkan komunikasi dengan Filipina demi menangani situasi ini dengan baik.
"Kami juga telah mengajukan proposal untuk mengelola dan mengendalikan situasi di Ren'ai Jiao. Bola kini ada di pihak Filipina. Kami berharap Filipina akan mengatasi akar masalah ini, berhenti melakukan provokasi dan menimbulkan masalah, serta menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan," tutur Mao Ning.
BACA JUGA:
Terkait dengan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat yang meminta China untuk menghentikan tindakannya yang berbahaya dan mengganggu stabilitas di laut, Mao Ning mengatakan bahwa sengketa maritim antara China dan Filipina adalah masalah antara China dan Filipina.
"Pihak ketiga mana pun tidak berhak ikut campur dalam permasalahan ini. Di satu sisi, AS, selama beberapa waktu telah berkomplot, menguatkan dan mendukung pelanggaran serta provokasi Filipina di Laut China Selatan. Namun di sisi lain, AS telah mengobarkan perselisihan, salah mengartikan fakta, memicu konfrontasi, dan merusak perdamaian dan stabilitas regional," jelas Mao Ning.
Mao Ning menegaskan China akan terus mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan hukum dalam dan internasional untuk secara tegas menjaga kedaulatan teritorial serta hak dan kepentingan maritimnya.
Sebelumnya pada 6 Desember 2023, parlemen Filipina mengadopsi resolusi No 1494 yang menyatakan parlemen mengecam "tindakan ilegal" China di Laut Filipina Barat berupa serbuan China terhadap nelayan Filipina dan pasukan keamanan yang berpatroli di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Keputusan itu diambil dengan mengacu pada keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen tahun 2016 yang menurut parlemen Filipina memberikan hak kepada Filipina atas Laut Filipina Barat berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).