JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal mengecek klaim belum adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang diterima Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Hiariej atau Eddy Hiariej usai ditetapkan sebagai tersangka.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menanggapi pernyataan Koordinator Humas Setjen Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman yang mengatakan belum ada SPDP diterima. Alih-alih tahu langsung dari KPK, Eddy diklaim tahu status hukumnya dari pemberitaan.
“Kami akan cek ya,” kata Ghufron kepada wartawan di Gedung ACLC KPK, Rasuna Said, Jakarta Selatan yang dikutip Kamis, 23 November.
Ghufron tak mau asal bicara sebelum melakukan pengecekan. Sebab, tindak lanjut penanganan kasus korupsi berada di tangan Kedeputian Penindakan dan Eksekusi KPK.
“Sekali lagi proses administrasi itu dikelola atau ditindak lanjuti oleh kedeputian,” tegasnya.
Sementara itu, Erif mengatakan Eddy sampai sekarang belum pernah mendapatkan SPDP ataupun Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dari KPK. Sehingga, dia minta semua pihak memegang asas praduga tak bersalah.
“Beliau tidak tahu menahu terkait penetapan tersangka yang diberitakan media karena belum pernah diperiksa dalam penyidikan dan juga belum menerima sprindik maupun SPDP,” kata Erif dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Jumat lalu.
Diberitakan sebelumnya, Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi. Bentuk gratifikasi itu diduga berupa penerimaan sejumlah uang terkait konsultasi dan bantuan pengesahan badan hukum sebuah perusahaan.
"Pada penetapan tersangka Wamenkumham, benar," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata beberapa waktu lalu.
Alexander memastikan penetapan tersangka itu berdasarkan surat perintah penyidikan (Sprindik) sudah ditandatangani sejak dua minggu lalu. “Dengan 4 orang tersangka. Dari pihak penerima 3, dari pemberi 1," tegasnya.
Melengkapi Alex, Direktur Penindakan KPK Asep Guntur menerangkan pasal yang diterapkan sebenarnya tak hanya gratifikasi melainkan suap. Penerapan ini dilakukan setelah gelar perkara dilakukan.
“Oh double (pasalnya, red). Ada pasal suap, ada pasal gratifikasinya,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu kepada wartawan seperti dikutip Selasa, 7 November.
BACA JUGA:
Asep mengatakan penerapan pasal ini juga didasari laporan hasil analisis (LHA) Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
“Dimana laporan hasil audit itu berupa lalu lintas uang yang dimiliki atau yang ada di rekening-rekening para terduga atau tersangka,” pungkasnya.