Pimpin WTO, Ngozi Okonjo-Iweala Nilai Nasionalisme Vaksin Menghambat Penanganan Pandemi dan Rugikan Ekonomi
Ngozi Okonjo-Iweala. (Wikimedia Commons/World Trade Organization)

Bagikan:

JAKARTA - Ekonom berpengalaman sekaligus mantan Menteri Keuangan Nigeria Ngozi Okonjo-Iweala mencetak sejarah, usai terpilih sebagai wanita pertama yang juga orang Afrika pertama yang memimpin Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Mantan pejabat Bank Dunia ini terpilih dalam pertemuan dewan umum istimewa WTO yang digelar secara daring pada Senin 15 Februari. Ia akan menjabat sebagai Direktur Jenderal dari 1 Maret 2021 hingga 31 Agustus 2025.

Berposisi sebagai Pemimpin WTO, Okonjo-Iweala yang sebelumnya juga merupakan Utusan Khusus untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait COVID-19, serta Ketua Dewan Aliansi Vaksin Global (Gavi), ingin membantu mengatasi kebuntuan masalah vaksin. 

WTO saat ini menghadapi kebuntuan atas masalah pembebasan hak kekayaan intelektual untuk obat-obatan COVID-19, dengan banyak negara kaya yang menentang. Menurutnya, 'nasionalisme vaksin' memperlambat kemajuan dalam mengakhiri pandemi COVID-19 dan dapat mengikis pertumbuhan ekonomi untuk semua negara - kaya dan miskin.

Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan kepada Reuters bahwa prioritas utamanya adalah memastikan WTO berbuat lebih banyak untuk mengatasi pandemi, dengan mengatakan para anggota harus mempercepat upaya untuk mencabut pembatasan ekspor yang memperlambat perdagangan obat-obatan dan pasokan yang dibutuhkan.

“WTO dapat berkontribusi lebih banyak untuk membantu menghentikan pandemi. Tidak ada yang aman sampai semua orang aman. Nasionalisme vaksin saat ini tidak akan membayar, karena varian yang datang. Jika negara lain tidak diimunisasi, itu hanya pukulan balik. Tidak masuk akal bahwa orang akan mati di tempat lain, menunggu dalam antrian, saat kita memiliki teknologi," paparnya.

Okonjo-Iweala mengatakan, studi menunjukkan bahwa ekonomi global akan kehilangan 9 triliun dolar Amerika Serikat dalam potensi produksi, jika negara-negara miskin tidak dapat mendapatkan vaksinasi penduduknya dengan cepat, dan sekitar setengah dari dampaknya akan ditanggung oleh negara-negara kaya.

“Baik atas dasar kesehatan manusia maupun ekonomi, menjadi nasionalis saat ini sangat merugikan dunia internasional. Prioritas paling utama bagi saya adalah memastikan, bahwa sebelum konferensi tingkat menteri yang sangat penting kita sampai pada solusi tentang bagaimana WTO dapat membuat vaksin, terapi dan diagnostik dapat diakses dengan cara yang adil dan terjangkau untuk semua negara, terutama ke negara-negara miskin,” tandasnya.