Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil mempertanyakan Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin terkait latar belakang penundaan pemeriksaan bagi peserta Pemilu 2024 yang terlibat kasus tindak pidana korupsi (tipikor). Pasalnya, penundaan dinilai sama dengan menunda kepastian hukum bagi pelaku.

"Menunda proses pemeriksaan, di satu sisi memang berikan sesuatu yang positif karena mungkin kalau tidak ditunda proses pemeriksaannya, orang akan anggap bahwa Kejaksaan melakukan politisasi dalam penegakan hukum," ujar Nasir saat rapat bersama Jaksa Agung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 16 November.

"Tetapi disisi lain, pandangan lain menyebutkan menunda proses pemeriksaan ini sepertinya menunda kepastian hukum sendiri itu pak. Jadi menunda kepastian, menunda keadilan, menunda kemanfaatan hukum itu sendiri," lanjutnya.

Oleh karena itu, legislator asal Aceh itu ingin mengetahui penjelasan Jaksa Agung terkait apa yang melatarbelakanginya untuk menunda pemeriksaan kasus tipikor saat pemilu berlangsung.

"Kami ingin dapat informasi lebih jauh, apa sebenarnya yang melatarbelakangi penundaan proses pemeriksaan terkait pak jaksa agung sampaikan," kata Nasir.

"Tentu saja memang saya mendengar ada instruksi jaksa agung, tetapi tentu ada latar belakang yang signifikan ketika Pak jaksa agung keluarkan instruksi soal menunda proses pemeriksaan ini. Karena sebagian pihak mengatakan bahwa ini sama saja menunda kepastian dan menunda kemanfaatan dan keadilan hukum itu sendiri," tambahnya.

Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memerintahkan jajaran untuk menunda pemeriksaan saat Pemilu 2024 berlangsung.

"Dalam penegakan hukum terkait dengan penanganan tindak pidana pemilu, kami memerintahkan kepada jajaran, Jampidsus dan jajaran intelijen untuk menunda proses pemeriksaan baik dalam setiap penyelidikan maupun penyidikan terhadap penanganan laporan dugaan tipikor yang melibatkan para peserta dalam kontestasi pemilihan umum," kata Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam rapat di Komisi III DPR, Kamis, 16 November.