Bagikan:

JAKARTA - Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Asep Guntur Rahayu mengungkapkan tindakan cegah tangkal (cekal) ke luar negeri terhadap kuasa hukum mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) dilakukan untuk kelancaran proses penyidikan.

"Jadi kami memiliki beberapa dokumen, baik itu dokumen yang kami terima, dokumen elektronik, di mana ada keterlibatan ya di situ, kami anggap itu bisa mengganggu jalannya proses penyidikan terhadap SYL," kata Asep saat dikonfirmasi Jumat, 10 November.

Asep mengatakan atas temuan tersebut tim penyidik lembaga antirasuah menilai perlu dilakukan upaya cegah ke luar negeri terhadap tiga advokat tersebut.

"Kami merasa perlu untuk melakukan pencekalan terhadap yang bersangkutan dimaksud," ujarnya.

Sebelumnya Rabu kemaarin, KPK mengajukan permohonan cegah keluar negeri terhadap tiga orang terkait penyidikan kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).

"KPK saat ini telah ajukan cegah terhadap tiga orang untuk tidak melakukan perjalanan keluar negeri pada Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham RI," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri.

Ali menerangkan penerapan cegah terhadap tiga orang yang berprofesi sebagai advokat tersebut dilakukan karena dibutuhkan keterangan berbagai pihak sebagai saksi untuk melengkapi alat bukti dalam berkas perkara penyidikan tersangka SYL dan kawan-kawan.

Pengajuan cegah tersebut berlaku untuk enam bulan ke depan dan dapat dilakukan perpanjangan lanjutan sesuai dengan kebutuhan proses penyidikan.

"KPK ingatkan agar kooperatif hadir dalam setiap agenda jadwal pemanggilan dari tim penyidik," kata Ali.

KPK pada Jumat, 13 Oktober 2023, resmi menahan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementerian Pertanian Muhammad Hatta (MH) terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi di kementerian tersebut.

Perkara dugaan korupsi tersebut bermula saat SYL menjabat sebagai Menteri Pertanian periode 2019 sampai 2024.

Dengan jabatannya tersebut, SYL kemudian membuat kebijakan personal yang diantaranya melakukan pungutan hingga menerima setoran dari ASN internal Kementan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, termasuk keluarga intinya.

Kurun waktu kebijakan SYL untuk memungut hingga menerima setoran tersebut berlangsung dari tahun 2020 sampai 2023.

SYL menugaskan Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono (KS) dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Kementan Muhammad Hatta (MH) untuk melakukan penarikan sejumlah uang dari unit eselon I dan II.

Dalam bentuk penyerahan tunai, transfer rekening bank hingga pemberian dalam bentuk barang maupun jasa.

Atas arahan SYL, KS dan MH memerintahkan bawahannya untuk mengumpulkan sejumlah uang di lingkup eselon I, yakni para direktur jenderal, kepala badan hingga sekretaris masing-masing eselon I.

Dengan besaran nilai yang telah ditentukan SYL dengan kisaran besaran mulai 4.000 dolar AS sampai dengan 10.000 dolar AS.

Penerimaan uang melalui KS dan MH sebagai representasi orang kepercayaan SYL itu dilakukan rutin setiap bulan-nya dengan menggunakan pecahan mata uang asing.

KPK mengatakan bahwa uang yang dinikmati SYL bersama-sama dengan KS dan MH sebagai bukti permulaan berjumlah sekitar Rp13,9 miliar. Meski demikian tim penyidik KPK masih terus melakukan penelusuran lebih mendalam terhadap jumlah pastinya.

SYL, KS, dan MH telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan selama 20 hari di rumah tahanan (Rutan) KPK untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut.

Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e dan 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara, tersangka SYL, turut pula disangkakan melanggar Pasal 3 dan/atau 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).