Bagikan:

BANDA ACEH - Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa eks Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya melakukan tindak pidana korupsi pada Rumah Sakit (RS) Arun Lhokseumawe, Aceh, sehingga menimbulkan kerugian negara mencapai Rp44,9 miliar. 

Jaksa membacakan dakwaan tersebut pada sidang perdana perkara dugaan korupsi RS Arun Lhokseumawe di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh di Banda Aceh, Senin, 23 Oktober.

Persidangan tersebut dipimpin oleh Hendrar, Ketua Majelis Hakim bersama Sadri dan R Deddy, yang masing-masing sebagai anggota majelis hakim.

Terdakwa Suaidi Yahya hadir ke persidangan menggunakan kursi roda karena sedang sakit. Terdakwa hadir didampingi penasihat hukumnya T Fakhrial Dani, Syamsul Rizal, dan kawan-kawan.

JPU dalam dakwaannya menyatakan terdakwa selaku Wali Kota Lhokseumawe pada periode 2016 hingga 2022 mengalihkan kepemilikan aset negara berupa RS Arun menjadi milik Hariadi dan Junaidi Yahya dalam naungan PT RS Arun Lhokseumawe.

Hariadi yang didakwa dalam kasus yang sama, namun perkara terpisah, diangkat sebagai Direktur RS Arun oleh terdakwa Suaidi Yahya. Sedangkan Junaidi Yahya merupakan adik terdakwa.

JPU menyebutkan PT Rumah Sakit Arun Lhokseumawe bukan anak perusahaan PT Pembangunan Lhokseumawe, atau dengan kata lain PT RS Arun Lhokseumawe bukan badan usaha milik daerah. Padahal, RS Arun Lhokseumawe merupakan aset negara.

Dalam operasionalnya, RS Arun Lhokseumawe tidak menggunakan uang Hariadi dan Junaidi Yahya, tetapi menggunakan uang rumah sakit. Sebab ketika Pemerintah Kota Lhokseumawe mengambil rumah sakit tersebut, fasilitas kesehatan itu memiliki biaya operasional sendiri.

"Semua keuntungan rumah sakit tersebut dinikmati orang pribadi. Padahal rumah sakit tersebut merupakan aset negara. Akibat perbuatan tersebut, negara dirugikan miliaran rupiah," kata JPU dilansir ANTARA.

JPU menyebutkan berdasarkan audit Inspektorat Kota Lhokseumawe, kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp44,9 miliar. Kerugian negara tersebut meliputi pembayaran gaji, tunjangan, dan lainnya yang tidak sah untuk Hariadi selaku direktur utama.

Usai mendengar dakwaan JPU, majelis hakim menanyakan apakah mengajukan nota pembelaan atau tidak. Namun, terdakwa melalui penasihat hukum menyatakan tidak mengajukan nota pembelaan.

Sementara itu, T Fakhrial Dani, penasihat hukum terdakwa Suaidi Yahya, memohon kepada majelis hakim mengalihkan status penahanan dari rutan menjadi tahanan rumah karena kondisi terdakwa sakit.

"Kami memohon pengalihan penahanan terdakwa dari rutan ke rumah karena klien kami sedang menjalani perawatan akibat sakit. Saat ini, klien kami masih dalam perawatan di rumah sakit," kata T Fakhrial Dani.