Pekerja Indonesia Butuh Kepastian Kerja dalam RUU Ciptaker, Bukan Sekadar <i>Sweetener</i>
Aksi buruh menolak RUU Cipta Kerja. (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Omnibus Law Rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja belum dimulai pembahasannya saja sudah menuai banyak penolakan. Padahal, niat awal pemerintah membuat regulasi 'sapu jagat' ini untuk meningkatkan pertumbuahan ekonomi. Namun, nyatanya RUU justru mengabaikan kesejahteraan bagi pekerja Indonesia.

Salah satu yang sangat disoroti oleh publik adalah sweetener atau pemanis yang ditawarkan pemerintah dalam draf RUU Cipta Kerja ini. Bentuk dari pemanis adalah uang bonus yang setara dengan lima kali gaji bagi seluruh pekerja resmi.

Dalam draf Omnibus Law Cipta kerja yang diterima VOI, disebutkan aturan bonus yang dimaksud paling dekat dengan aturan penghargaan lain. Aturan ini diatur dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan, pada Pasal 92.

Pasal 92

(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, pemberi kerja berdasarkan Undang-Undang ini memberikan penghargaan lainnya kepada pekerja/buruh.

(2) Penghargaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan:

a. pekerja/buruh yang memiliki masa kerja kurang dari 3 (tiga) tahun, sebesar 1 (satu) kali upah;

b. pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, sebesar 2 (dua) kali upah;

c. pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, sebesar 3 (tiga) kali upah;

d. pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, sebesar 4 (empat) kali upah; atau

e. pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih, sebesar 5 (lima) kali upah.

(3) Pemberian penghargaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) kali dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja sebelum berlakunya Undang-Undang ini.

(5) Ketentuan mengenai penghargaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi usaha mikro dan kecil.

Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar S Cahyono mengatakan, pemanis di dalam RUU Cipta Kerja yang ditawarkan pemerintah hanya pengalihan perhatian publik. Sebab, pemanis diberikan namun kesejahteraan pekerja diabaikan.

Menurut Kahar, yang sangat dibutuhkan pekerja Indonesia saat ini bukan 'pemanis' tetapi kepastian pekerjaan. Karena, di dalam draf RUU ini ancaman bagi pekerja Indonesia khususnya pekerja baru, semakin nyata.

"Sweetener atau pemanis ini tidak ada makna bagi KSPI karena hanya sekali diberikan. Kemudian tidak ada sanksinya kalau perusahaan tidak memberikan. Yang lebih parah lagi hak-hak pekerja yang lain dihilangkan. Soal kontrak, outsourcing, pesangon itu kan banyak yang diturunkan," ucapnya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Kamis, 27 Februari.

Kahar berujar, pemanis ini hanya bersifat sementara. Namun, jika melihat jangka panjang banyak hak pekerja yang dihilangkan. Padahal, undang-undang (UU) Ketenagakerjaan ini jika ingin dibenahi dengan tujuan memberikan kesejahteraan kepada pekerja, orientasinya harus melihat ke depan.

"Harus dipikirkan untuk yang masih mencari kerja sampai dia mendapatkan pekerjaan. Tapi (RUU ini) kan tidak seperti itu. Ada pemanis ini, namun menutup banyak hal yang direduksi dari aturan-aturan sebelumnya," ucapnya.

Menurut Kahar, landasan yang menjadi dasar pihaknya menolak RUU Cipta Kerja ini adalah tidak adanya jaminan kepastian pekerjaan, kepastian pendapatan dan jaminan sosial. Namun, jika pemerintah memenuhi tiga hal ini, tanpa menawarkan pemanis pekerja Indonesia pun tidak akan berkeberatan.

"Artinya kalau misalnya ada kepastian dalam pekerjaan. Tidak gampang di PHK, tidak bisa dikontrak seenaknya, tidak bisa di-outsourcing. Kemudian upahnya layak, tanpa sweetener pun kita sebenarnya tidak mempermasalahkan. Jadi tidak ada sweetener pun, tidak apa gitu," tuturnya.

Kahar mengatakan, pihaknya tidak sepakat dengan DPR maupun pemerintah yang mengatakan bahwa draf ini baru sekadar rancangan. Di mana, kata dia, dalam proses pembahasannya masih mungkin berubah.

"Sebuah penyusunan undang-undang itu mulai dari persiapannya, proses penyusunan drafnya sampai kemudian pembahasan dan diundangkan itu kan menjadi suatu rangkaian. Kalau drafnya awalnya sudah amburadul begitu, kita bisa menduga bahwa output-nya juga tidak akan jauh berbeda," jelanya.

Menurut Kahar, jika pemerintah serius untuk untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja Indonesia, mestinya dari awal penyusuhan draf sudah dipersiapkan.

DPR Akan Perjuangkan Hak Pekerja

Anggota Komisi IX Intan Fauzi mengatakan, RUU ini adalah usulan pemerintah. Penolakan yang terjadi karena serikat buruh maupun pekerja merasa tidak dilibatkan. Namun, RUU ini belum dibahas, bahkan masih berupa rancangan yang mungkin saja dapat berubah.

Terkait dengan kekhawatiran serikat pekerja mengenai tidak adanya kepastian kerja dalam RUU ini maupun menganai pemanis yang ditawarkan pemerintah, kata Intan, pasti akan dibahas oleh pemerintah dan DPR. Pembahasan ini tentunya juga melibatkan serikat pekerja, dan pelaku usaha.

"Saya sangat yakin itu masuk dalam pembahasa. Kalau itu nanti bertentangan dengan UU ketenagakerjaan itu tidak bisa. Kalaupun mau diubah, kita juga tidak boleh anti perubahan. Tentu perubahan itu harusnya juga jangan sampai mengabaikan (kesejahteraan)," ucap Intan.

Komisi IX, kata Intan, pasti akan membedah pasal per pasal yang ada di dalam RUU Cipta kerja yang bersingungan langsung dengan ketenagakerjaan. Menurut dia, DPR tidak akan mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan pekerja.

"Pasti (kami bahasa mendalam). Karena kalau kita pembahasan rancangan undang-undang itu rapat dengar pendapat, kemudian juga kajian akademisnya. Kami betul-betul akan bahas pasal per pasal, kami Komisi IX secara pasti tidak akan mengabaikan tenaga kerja tapi kita juga mendorong peningkatan investasi," jelasnya.

Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto berpandangan RUU Cipta Kerja bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang maju, sejahtera. Hal ini dilakukan melalui upaya memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layang melalui cipta kerja. Dalam prosesnya, RUU Cipta Kerja memperhatikan rambu-rambu dan koridor konstitusi serta mengikuti hierarki konstitusi.

"Tentu ini sesuai dengan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dan tidak ada Undang-Undang yang di bawah membatalkan yang di atas," kata Airlangga dalam pada acara CNBC Indonesia Outlook 2020, Rabu, 26 Februari.