Bagikan:

YOGYAKARTA – Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Indonesia (PHBI) Julius Ibrani turut menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan batas usia capres-cawapres yang diajukan Almas Tsaqibbiru Re A dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023.

Menurut Julius, ada beberapa kejanggalan yang brutal pada putusan MK yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapres pada Pemilu 2024.

Salah satu kejanggalan putusan MK menurut PHBI adalah gugatan batas usia capres-cawapres yang diajukan pemohon seharusnya ditolak sejak awal.

“Pemohon tidak memenuhi kriteria dasar yang rasional dan relevan dalam permohonannya, yakni tidak punya kepentingan langsung dalam kontestasi Pemilu, baik sebagai Capres/Cawapres atau perwakilan partai yang memenuhi electoral threshold, bukan juga kepala daerah yang berpengalaman,” kata Julius.

Secara lebih rinci, berikut sederet kejanggalan putusan MK menurut PBHI yang disampaikan oleh Julius Ibrani.

Kejanggalan Putusan MK Menurut PHBI

1. Gugatan batas usia capres-cawapres seharusnya ditolak sejak awal

Kejanggalan putusan MK tentang batas usia capres-cawapres yang pertama adalah Mahkamah Konstitusi seharusnya sudah menolak permohonan yang diajukan oleh mahasiwa Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.

Dalam gugatannya, Almas meminta agar Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi terhadap Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan menambahkan frasa “Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/kota”.

Alasan Almas meminta MK mengubah frasa tersebut, yakni karena ia merupakan pengagum Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.

Menurut Julius, MK seharusnya menolak gugatan pemohon karena yakni tidak punya kepentingan langsung dalam kontestasi Pemilu, baik sebagai Capres/Cawapres atau perwakilan partai yang memenuhi electoral threshold.

2. MK bersikap inkonisten

Kejanggalan putusan MK yang kedua, yakni Mahkamah Konstitusi bersikap inkonsisten. Pasalnya, 6 permohonan lain ditolak dan tidak melibatkan Ketua MK Anwar Usman.

“Tiba-tiba dalam perkara nomor 90, Anwar Usman terlibat lalu memutar balik putusan MK,” ucap Julius.

3. Petitum pemohon tidak relevan

Berikutnya, PHBI melalui Julius menganggap petitum pemohon perkara nomor 90 tidak relevan antara frasa ‘usia 40 tahun’ dan ‘berpengalaman sebagai kepala daerah’ yang harus dimaknai sebagai penambahan frasa.

“Seharusnya open legal policy, bukan pemaknaan frasa,” tutur Julius.

4. Tidak ada frasa 'atau pernah, sedang’ dalam petitum yang diajukan pemohon

Kejanggalan putusan MK tentang batas usia capres-cawapres yang keempat, yakni tidak ada frasa 'atau pernah, sedang' dalam petitum yang diajukan pemohon.

“Artinya, hakim konstitusi menambahkan sendiri permohonan dan bertindak seperti pemohon,” papar Julius.

Dikatakan Julius, kejanggalan-kejanggalan Putusan MK sedianya sudah bisa dianalisis dengan mudah sejak Presiden Joko Widodo mengubah kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan politik yang despotic sebagaimana teori Montesquiesu.

“Kekuasaan eksekutif yang mengkooptasi kekuasaan politik lain (yudikatif dan legislatif) sehingga menjadi bawahannya dan berada di telapak kakinya, dan harus melulu demi kepentingan eksekutif semata,” tutur Julius.

“Terbukti, tidak ada evaluasi dari DPR RI selaku legislatif terhadap kinerja Presiden Jokowi, bahkan kongkalikong mengebiri rakyat lewat kebijakan yang anti-HAM seperti KUHP, UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU PSDN, dan lainnya yang ditolak di MK,” sambung Julius.

Sekedar informasi tambahan, pada Senin, 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

“Mengadili mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Senin, 16 Oktober 2023.

Menurut MK, Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan “berusia paling rendang 40 tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

“Sehingga pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,” kata Anwar.

Demikian informasi tentang kejanggalan putusan MK menurut PHBI. Dapatkan update berita pilihan lainnya hanya di VOI.ID.