4 Hakim MK Beda Pendapat Soal Putusan Syarat Capres Cawapres: Begini Alasannya Menurut Masing-Masing Hakim MK
4 Hakim MK Beda Pendapat Soal Putusan Syarat Capres Cawapres (ANTARA)

Bagikan:

YOGYAKARTA - Nampaknya efek dari 4 hakim MK beda pendapat soal putusan syarat capres cawapres membuat polemik di negara kita. Pasalnya masing-masing hakim Mahkamah Konstitusi (MK) punya perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang bikin bingung publik karena adanya putusan yang mengabulkan gugatan syarat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) minimal berusia 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Lantas apa saja alasan dari para keempat Hakim MK tersebut? Berikut penjelasan menurut masing-masing Hakim MK;

Alasan 4 Hakim MK Beda Pendapat Soal Putusan Syarat Capres Cawapres

1. Wahiduddin Adams

Hakim konstitusi Wahiduddin menyatakan belasan pertimbangan. Salah satunya, Wahiduddin menuturkan, pengaturan batas umur buat capres cawapres sangat umum diakukan oleh pembuat undang-undang. Karena, jabatan presiden serta wakil presiden secara esensial sangat berbeda dengan jabatan raja/ratu/sultan/kaisar serta lain sebagainya, yang biasanya dinaikan pada berapapun umur mereka.

Tidak hanya itu, kata Wahiduddin, bila MK mengabulkan permohonan ini, baik sepenuhnya ataupun sebagian, maka yang sejatinya berlangsung dalah Mahkamah melangsungkan praktik yang biasa diketahui selaku legislating or governing from the bench tanpa didukung alasan-alasan konstitusional yang cukup.

"Menimbang bahwa berdasarkan beberapa uraian argumentasi tersebut di atas, saya berpendapat Mahkamah seharusnya menolak permohonan pemohon," kata Wahiduddih, Senin, 16 Oktober 2023, dikutip dari salinan dokumen putusan MK.

2. Saldi Isra

Hakim konstitusi Saldi Isra menerangkan dirinya menolak permohonan a quo atas masalah 90/PUU-XXI/2023. Perihal itu sebagaimana dalam putusan MK No 29-51-55/PUU-XXI/2023. Saldi pula berpandangan kalau sepatutnya mahkamah juga menolak permohonan a quo.

"Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini," ujar Saldi.

Karena, kata Saldi, semenjak menapakkan kaki selaku Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, ataupun sekitar 6 setengah tahun yang lalu, baru kali ini dia hadapi peristiwa “aneh” yang “luar biasa”. Apalagi, Saldi berujar peristiwa itu bisa dikatakan jauh dari batasan penalaran yang wajar.

"Mahkamah berubah pendirian serta sikapnya hanya dalam sekelebat," ucap Saldi.

Ada pula sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 29-51-55/PUUXXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, serta tegas melaporkan kalau ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 merupakan wewenang pembuat undang-undang buat mengubahnya.

"Pertanyaannya, fakta penting apa yang sudah berganti di tengah warga sehingga Mahkamah mengganti pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi No 29-51-55/ PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berganti jadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?" ucap Saldi.

3. Arief Hidayat

Hakim konstitusi Arief Hidayat menuturkan, walaupun terdapat beberapa perkara lain yang mempermasalahkan isu sama soal batasan umur capres-cawapres, dia berfokus pada kelima masalah a quo. Karena baginya,

muara serta inti isu konstitusionalitas yang dibahas berawal dari perkara- perkara a quo, terlebih ketiga masalah a quo, ialah Perkara No 29/PUU-XXI/2023, Perkara No 51/PUU-XXI/2023, serta Perkara No 55/PUU-XXI/2023, sudah diperiksa serta diadili dalam sidang pleno secara bersamaan. Sedangkan Perkara No 90/PUU-XXI/2023 serta Perkara No 91/PUU-XXI/2023, ialah masalah yang relatif baru, tetapi lekas diputus.

"Dari kelima perkara a quo saya merasakan adanya kosmologi negatif serta keganjilan pada kelima masalah a quo yang butuh saya sampaikan," ujar Arief. "Sebab perihal ini mengusik hati nurani saya selaku seseorang hakim yang wajib menunjukkan sikap penuh integritas, independen serta imparsial, dan leluasa dari intervensi politik mana pun serta cuma berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasar pada ideologi Pancasila."

Ada pula keganjilan yang disebutkan Arief, ialah penjadwalan persidangan yang terkesan lama serta ditunda; pembahasan dalam rapat permusyawaratan hakim; dan perkara no 900/PUU-XXI/2023 serta perkara no 91/PUU-XXI/2023 ditarik namun senantiasa dilanjutkan.

Terhadap perkara no 90 serta 91, Arief berkomentar pemohon sudah mempermainkan marwah lembaga peradilan serta tidak sungguh-sungguh dalam mengajukan permohonan. Bagi Arief, sepatutnya Mahkamah menghasilkan ketetapan yang mengabulkan penarikan permohonan a quo dengan sebab pemohon tidak besungguh- sungguh serta profesional dalam mengajukan permohonan.

"Selaku konsekuensi hukum dari penarikan perkara, maka pemohon tidak bisa melakukan pembatalan pencabutan perkara a quo serta perkara yang sudah dicabut ataupun ditarik tidak bisa diajukan kembali," tutur Arief.

4. Suhartoyo

Hakim konstitusi Suhartoyo memberitahukan dirinya tidak memberikan peran hukum ataupun legal standing kepada para pemohon atas perkara no 29/PPU-XXI/2023 serta 51/PUU-XXI/2023. Sebabnya, para pemohon bukan subjek hukum yang berkepentingan langsung buat mencalonkan diri selaku presiden serta wakil presiden. Sehingga, pemohon tidak relevan memohon buat memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 buat kepentingan pihak lain, sebagaimana dalam petitum permohonannya," kata Suhartoyo.

"Kalau bersumber pada penjelasan pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi sepatutnya pula tidak memberikan legal standing kepada pemohon serta oleh karenanya tidak terdapat relevansinya buat mempertimbangkan pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo menyatakan permohonan pemohon tidak bisa diterima," kata Suhartoyo.

Kabulkan Sebagian Gugatan 

Diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan ketentuan capres-cawapres berumur paling rendah 40 tahun ataupun berpengalaman selaku kepala daerah. Putusan atas gugatan dengan no perkara 90/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa), Almas Tsaqibbirru, itu diketok Ketua MK Anwar Usman pada Senin, 16 Oktober 2023. Almas mengaku selaku pengagum Gibran.

Hakim MK mengabulkan sebagian gugatan. "Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon buat sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusannya, Senin 16 Oktober 2023.

Anwar berkata, MK sudah menyatakan Pasal 169 huruf q UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun berlawanan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun ataupun sempat/menduduki jabatan yang dipilih lewat pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara RI sebagaimana mestinya," ujar Anwar Usman.

Salah satu hakim MK, Guntur Hamzah mengatakan, pertimbangannya mengabulkan gugatan itu sebab sebagian negara sudah mengatur batasan umur pemimpinnya di bawah 40 tahun.

"Tren kepemimpinan global terus menjadi cenderung ke umur yang lebih muda, dengan demikian dalam batasan penalaran yang wajar umur di bawah 40 tahun bisa saja menduduki jabatan baik selaku presiden ataupun wakil presiden selama penuhi kualifikasi tertentu yang sederajat ataupun setara," ujar Guntur saat membacakan amar putusannya. 

Jadi setelah mengetahui 4 hakim MK beda pendapat soal putusan syarat capres cawapres, simak berita menarik lainnya di VOI, saatnya merevolusi pemberitaan!