Bagikan:

JAKARTA - Peneliti dari Institute fo Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai temuan cek Rp2 triliun di rumah dinas eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo tak valid. Sebab, ada batas nominal untuk menuliskan bahkan melakukan pencairan.

“Kalau dilihat dari batas dan maksimal pencairan, sepertinya itu tidak valid, dimana batas cek itu Rp500 juta,” kata Nailul kepada wartawan yang dikutip Selasa, 16 Oktober.

Adapun di rumah dinas eks Mentan Syahrul penyidik menemukan uang Rp30 miliar. Upaya paksa ini dilakukan pada Kamis, 28 Oktober.

Hanya saja, komisi antirasuah baru membuka adanya temuan tersebut setelah ramai diberitakan oleh media pada pekan ini. Disebutkan, cek dari Bank Central Asia (BCA) tertulis nama Abdul Karim Daeng Tompo dengan nilai Rp2 triliun dan tertulis tanggal 28 Agustus 2018.

Kembali ke Nailul, cek itu juga tak lagi berlaku ketika ditemukan penyidik. Sebab, masa berlakunya maksimal 70 hari.

Sehingga, ia menilai temuan tersebut tidak masuk akal. “Saya tidak mengerti terkait kasus-nya, tapi memang tidak wajar ada cek senilai Rp 2 triliun,” tegasnya.

“Satu penarikan dengan nominal fantastis, apalagi perorangan. Tidak masuk akal kalau menurut saya,” sambung Nailul.

Diberitakan sebelumnya, KPK bakal mengecek validitas temuan cek senilai Rp2 triliun yang didapat di rumah dinas Syahrul di kawasan Widya Chandra, Jakarta.

Syahrul secara resmi ditahan setelah ditangkap di sebuah apartemen di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Politikus Partai NasDem itu terjerat tiga pasal yaitu pemerasan berkaitan dengan jabatan, penerimaan gratifikasi, dan pencucian uang.

Dalam kasus ini disebut KPK memeras pegawainya dengan mewajibkan membayar uang setoran setiap bulan dengan bantuan Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat Pertanian Kementan Muhammad Hatta. Nominalnya yang dipatok Syahrul dan harus disetorkan pegawai eselon I-II berkisar 4.000-10.000 dolar Amerika Serikat.

Uang yang dikumpulkan diyakini bukan hanya berasal realisasi anggaran Kementan digelembungkan atau mark-up melainkan dari vendor yang mengerjakan proyek. Pemberian uang dilakukan secara tunai, transfer maupun barang.

KPK kemudian menduga uang yang diterima Syahrul digunakan untuk berbagai kepentingan pribadinya. Mulai dari umrah bersama pegawai Kementan lainnya, membeli mobil, memperbaiki rumah hingga mengalir ke Partai NasDem dengan nilai hingga miliaran rupiah.