Bagikan:

JAKARTA - Batas waktu 24 jam yang ditetapkan Angkatan Bersenjata Israel (IDF) kepada penduduk Gaza utara agar menyingkir ke bagian selatan salah satu kantong Palestina, selain Tepi Barat itu, sudah lewat.

Menurut Israel, sudah sekitar 600 ribu penduduk Gaza bergerak dari utara ke selatan. Jumlah itu separuh dari total penduduk Gaza.

Dilansir ANTARA, Senin, 16 Oktober, IDF akan menyerang kota itu guna melenyapkan kelompok perlawanan Palestina, Hamas, sebagai buntut dari serangan maut, 7 Oktober lalu, yang menewaskan ribuan warga Israel dan seratusan lainnya dijadikan tameng hidup oleh Hamas.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak Israel mencabut perintah evakuasi itu karena berpotensi menciptakan bencana kemanusiaan yang dahsyat.

Jarak dari titik paling utara Gaza di Penyeberangan Beit Hanoun, ke Wadi Gaza di selatan mencapai 17 km.

Dekat memang, hanya empat jam berjalan kaki, namun itu dalam keadaan normal. Bayangkan, jika 1,2 juta orang mesti pindah dalam waktu 24 jam, termasuk lansia, orang sakit dan anak-anak.

Bahkan, Uni Eropa menganggap perintah evakuasi itu tidak masuk akal. Sementara itu, bangsa Arab dan Palestina menjadi teringat pada pemindahan paksa tahun 1948 yang membuat terusir dari tanahnya sendiri.

Kini, Israel bersiap melancarkan serangan darat, yang sudah dua kali mereka lancarkan dalam empat perang sebelumnya melawan Hamas.

Dengan mengaktifkan 300 ribu tentara cadangan, menyiagakan tank tempur di sepanjang perbatasan Gaza-Israel, dan sudah berlatih menghadapi perang urban yang sengit, tekad Israel sudah bulat.

Negara dengan kekuatan militer terbesar keempat di Timur Tengah, setelah Turki, Mesir, dan Iran itu, ingin menghabisi Hamas sampai akar-akarnya, sehingga tak lagi menjadi ancaman.

Di samping tahu menghadapi kondisi pelik oleh warganya yang disandera Hamas, Israel paham akan menghadapi perlawanan sengit dari Hamas yang sejak bertahun-tahun lalu membangun terowongan dan perangkap sebagai jaga-jaga menghadapi kemungkinan serangan Israel.

Para pemimpin Hamas mengaku sejak lebih dari setahun silam merancang operasi penyusupan ke Israel. Mereka juga menyusun skenario menghadapi berbagai kemungkinan serangan balik Israel, termasuk ofensif darat.

Hamas mungkin sudah menunggu momen ini, yang menentukan ketika secara politik mereka di ambang "dilupakan" sekutu-sekutunya yang satu per satu berhasil didekati Israel.

Mengakar kuat

Hamas mungkin tahu kemenangan sulit didapat dari negara yang memiliki 1.000 tank tempur Merkava dan 350 pesawat tempur canggih itu. Namun, tentara Israel yang bakal dipaksa melancarkan operasi dari pintu ke pintu, juga menghadapi risiko maut teramat besar, apalagi mereka mungkin mesti berperang berbulan-bulan di Gaza.

Hamas dan kelompok-kelompok perlawanan Palestina yang lain tahu pasti rakyat Israel sensitif terhadap jatuhnya korban besar pada pihak mereka. Korban yang besar bakal menjadi tekanan hebat terhadap pemimpin Israel.

Hamas sendiri bukan kelompok perlawanan biasa-biasa, yang reputasi tempurnya baik, diakui sendiri oleh Israel.

Berbeda dari kelompok perlawanan Palestina lainnya, Hamas mengakar kuat dalam masyarakat Palestina, karena dianggap paling bisa diandalkan, bukan saja oleh mereka yang berada di Jalur Gaza, tapi juga mereka yang di Tepi Barat dan tempat-tempat lain di mana diaspora berada.

Reputasi itu disandang Hamas karena mereka memiliki kekuatan bersenjata terorganisir, mampu menjalankan pemerintahan yang efektif di Gaza dan piawai memajukan program-program kesejahteraan sosial yang tak bisa dilakukan kelompok Palestina lainnya, termasuk Fatah.

Saking mengakar, Hamas menginspirasi dan menyemangati warga Palestina di Tepi Barat dalam melawan provokasi ekstremis-ekstremis kanan Israel di daerah-daerah pendudukan dan kompleks Al-Aqsa, di Yerusalem timur.

Sejak didirikan pada 1987, Hamas terus bertahan dari gempuran periodik Israel. Bahkan sejak diblokade Israel pada 2007, mereka berhasil dilemahkan oleh Israel.

Andai pun berhasil menduduki Jalur Gaza, Israel menghadapi dua masalah besar, yakni memadamkan pemberontakan sisa-sisa Hamas dan kelompok-kelompok lain, termasuk Jihad Islam, serta yang terberat, mesti memenuhi dan melayani kebutuhan-kebutuhan mendasar 2,3 juta warga Palestina.

Lebih dari itu, dengan memusnahkan Hamas, Israel bakal menciptakan kekosongan kekuasaan di Gaza yang bukan mustahil diisi kelompok lain yang lebih militan dan radikal.

Mungkin saja setiap pihak yang dimenangkan atau diuntungkan oleh akibat dari kehancuran Hamas, akan dianggap pengkhianat atau antek Israel oleh rakyat Palestina. Jika demikian halnya, perang tak akan begitu banyak mengubah wajah Palestina, khususnya Gaza.

"Israel mungkin bisa melenyapkan Hamas, tapi mereka tak akan mampu menyelesaikan masalah mendasar di Gaza," kata H.A. Hellyer, dari lembaga think tank pertahanan Inggris, Royal United Services Institute (RUSI), seperti dikutip AP.

Kesulitan lain yang dihadapi Israel adalah sedikitnya negara yang benar-benar total mendukung mereka di Gaza. Situasi seperti itu tak pernah terjadi pada perang-perang melawan Hamas sebelumnya.

Bahkan, sekutu paling setia Israel, Amerika Serikat, bisa berubah pandangan jika ofensif darat Israel memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza. Bakal ada tekanan publik yang dahsyat di negara-negara sekutu Israel jika ofensif darat merenggut korban sipil dalam jumlah teramat besar atau menciptakan tragedi kemanusiaan yang akut.

Bisa menyebar

Tak heran, Israel mati-matian menyeru warga Gaza agar meninggalkan daerah utara agar ofensif darat tak menimbulkan korban sipil dalam jumlah besar. Ini lebih karena Israel mengkhawatirkan tekanan publik internasional terhadap sekutu-sekutunya yang bisa menjadi bumerang untuk sukses operasi militer Israel di Gaza.

Yang tak kalah mengerikan jika skenario itu terjadi, adalah suburnya lagi radikalisme dan hidupnya kembali sel-sel teror yang kerap memanfaatkan isu Palestina.

Ofensif darat yang tak terukur, sehingga menimbulkan kerugian sipil yang besar, bisa membuat kaum fanatik nan radikal memiliki alasan untuk melancarkan teror dalam skala luas, seperti terjadi tahun-tahun lalu, yang pastinya bakal merepotkan negara-negara yang menjadi sekutu Israel.

Yang juga patut diperhitungkan adalah kemungkinan sekutu-sekutu Hamas membuat front peperangan yang lain, walau IDF sudah menyatakan Israel sanggup berperang di dua front sekaligus.

Di antara kemungkinan besar yang akan menceburkan diri dalam perang Hamas-Israel adalah Hizbullah, yang disebut-sebut memiliki 100 ribu tentara terlatih dan mempunyai 150 ribu peluru kendali.

Hizbullah adalah musuh yang jauh lebih tangguh dari pada Hamas. Mereka semakin mengerikan karena ditempa oleh berbagai medan perang, termasuk perang saudara di Suriah, di mana mereka menjadi salah satu penyangga kekuasaan rezim Presiden Bashar al-Assad.

Kelompok Syiah dukungan Iran yang berbasis di Lebanon itu tak bisa membayangkan hidup tanpa patron perlawanan di Palestina. Kehancuran Hamas akan membuat Hizbullah sendirian menghadapi Israel, penentangan terhadap Israel sudah menjadi salah satu platform politik mereka.

Israel mungkin masih mengingat perang sengit selama sebulan pada 2006 yang menemui jalan buntu, sehingga perang diakhiri gencatan senjata.

Jika Hizbullah ikut berperang, Iran yang menjadi sponsor Hizbullah, kemungkinan besar ikut masuk. Justru ini momen yang membuat Iran bisa menunjukkan kepemimpinan kawasan ketika dunia Arab menjadi cenderung pasif. Iran juga tak ingin melihat Hamas terhapus dari geopolitik kawasan.

Namun, Iran pula yang mendorong Amerika Serikat menyiagakan dua kapal induk di Laut Tengah di lepas pantai Gaza, Israel, dan Lebanon, guna mencegah Iran dan proksi-proksinya di Suriah dan Lebanon, membuka front perang yang lain.

Alhasil, apa yang tadinya konflik Hamas dengan Israel, bisa berkembang menjadi konflik yang menyeret kekuatan-kekuatan kawasan, termasuk AS, bahkan Rusia yang terikat perjanjian 2017 dengan Suriah yang membuat Tartus menjadi pangkalan untuk 11 kapal perang Rusia.

Semua situasi ini membahayakan politik dunia yang sudah dibuat lelah oleh perang Ukraina-Rusia, dan konflik-konflik lainnya, termasuk di Timur Tengah.

Israel mungkin akan dipaksa berhitung lebih keras lagi dengan mempertimbangkan situasi-situasi global itu, agar tidak salah melangkah yang bisa menempatkan sekutu-sekutunya dalam posisi sulit, kendati kecil kemungkinan negara itu membatalkan ofensif darat ke Gaza.