JAKARTA - Umumnya, keberhasilan kinerja perekonomian suatu negara dapat dilihat dari tiga hal pokok, yakni output atau produk domestik bruto (PDB), tingkat pengangguran, dan inflasi.
Tiga variabel makro tersebut saling berkaitan. Jika output riil yang dihasilkan suatu negara melebihi output potensial maka ha tersebut jamak disebut dengan pertumbuhan ekonomi. Indikatornya adalah terciptanya inflasi. Inflasi sendiri harus dijaga pada level tertentu agar kegiatan produktif tetap berjalan dalam situasi seimbang.
Apabila proses ekonomi berjalan dengan rentang pertumbuhan yang baik maka ketersediaan lapangan pekerjaan juga akan meningkat. Ini akan berimbas pada serapan angkatan kerja. Hal sebaliknya berlaku jika pertumbuhan mengalami stagnasi, apalagi sampai menurun, maka hampir dipastikan jumlah pengangguran akan meningkat.
Mengutip variabel ekonomi yang dicetuskan Arthur Melvin Okun, disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi dengan tingkat pengangguran. Variabel yang kerap disebut dengan hukum Okun ini memang tidak bisa terapkan secara sama pada seluruh negara karena masing-masing wilayah memiliki karakteristik tersendiri. Meskipun demikian, hukum Okun dapat digunakan sebagai panduan dalam menganalisis makro ekonomi yang berguna untuk menetapkan sebuah kebijakan.
Hukum Okun, seperti yang dijelaskan oleh Samuelson (2005), menyatakan bahwa untuk setiap 2 persen penurunan PDB maka diperkirakan tingkat pengangguran melonjak 1 persen.
Ambil contoh kasus Indonesia. Pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada sepanjang 2020 terkontraksi menjadi minus 2,07 persen. Padahal, rerata pertumbuhan negara ini dalam kurun waktu lima tahun berada di level 5 persen.
Artinya, jika mengaplikasikan hukum Okum pada konteks Indonesia maka terjadi penurunan PDB sebesar 7 persen hanya dalam tempo satu tahun. Ini berarti terdapat lonjakan pengangguran baru sebanyak 3,5 persen dari seluruh angkatan kerja yang ada di Indonesia pada sepanjang tahun lalu.
Fakta tersebut terkonfirmasi oleh rilis BPS pada 10 November 2020. Disebutkan bahwa per Agustus 2020 jumlah pengangguran di Indonesia naik menjadi 9,77 juta orang atau setara 7,07 persen dari sebelumnya 7,1 juta orang atau 5,23 persen per Agustus 2019. Adapun perkiraan total angkatan kerja pada pada periode tersebut mencapai 138,22 juta orang.
Sebagai informasi, indikator pengangguran ini sangat penting dalam penetapan kebijakan ekonomi makro ke depan. Sebab, persentase dan juga data ketenagakerjaan diperlukan pemerintah untuk menjadi acuan dalam membuka lapangan kerja.
Hal ini pula yang membuat Presiden selalu mengumumkan tingkat pengangguran di Indonesia dalam sidang paripurna dengan DPR setiap 16 Agustus sebagai indikator keberhasilan kinerja pemerintah dalam pembangunan ekonomi.
Solusi
Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan pemerintah perlu meningkatan upaya pembukaan lapangan pekerjaan guna menjaga tingkat konsumsi rumah tangga tidak anjlok lebih dalam.
Pasalnya, dalam siklus ekonomi, lapangan pekerjaan berarti memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk tetap konsumtif lewat pendapatan yang diterima. Apabila skenario ini terjadi, maka akan tumbuh demand yang berujung pada peningkatan output dalam membentuk PDB.
“Sektor yang paling mungkin adalah padat karya, karena biasanya yang terjun ke sektor ini masyarakat kelas bawah dan ini jumlahnya mendominasi di Indonesia. Golongan ini jika mendapatkan uang pasti digunakan untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari. Jadi ekonomi bisa terus berputar dan konsumsi tidak jeblok,” tuturnya kepada VOI Jumat 5 Februari.
BACA JUGA:
Enny menambahkan, dirinya telah memprediksi bahwa kontraksi pertumbuhan ekonomi pada sepanjang 2020 disebabkan oleh anjloknya tingkat konsumsi rumah tangga.
Analisa tersebut kembali diamini BPS yang menyebut bahwa konsumsi amblas ke level minus 2,63 persen yang merupakan cerminan dari rendahnya daya beli masyarakat.
“Konsumsi turun apalagi sampai minus sudah pasti investasi akan ikut turun. Ini karena 80 persen produk yang dihasilkan oleh investasi terserap oleh pasar dalam negeri. Jadi upaya strategis yang bisa dilakukan pemerintah adalah menjaga konsumsi tetap stabil,” tuturnya.
Ekonom Indef itu juga mengkritisi strategi pemerintah yang cenderung fokus untuk menangani sektor finansial dalam negeri ketimbang menjaga tingkat konsumsi rumah tangga.
Memang benar dengan kebijakan keuangan seperti restrukturisasi kredit di perbankan dan perusahaan pembiayaan bisa menjaga konsumsi, tapi itu membutuhkan waktu untuk proses transmisinya di lapangan agar bisa sampai ke masyarakat,” kata dia.
Untuk diketahui, melaporkan PDB Indonesia 2020 atas dasar harga berlaku sebesar Rp15.434,2 triliun atau Rp56,9 juta perkapita.
Jika menengok pertumbuhan dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga dan investasi berkontribusi sebesar 89,4 persen dari pembentukan PDB tahun lalu.