Bagikan:

NTT - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan keberadaan Observatorium Nasional Timau yang terletak di Kabupaten Kupang, dapat meningkatkan daya saing astronomi dan sains antariksa Indonesia di mata negara-negara maju.

Koordinator Stasiun Observatorium Nasional Kupang BRIN Abdul Rachman mengatakan, Observatorium Timau dilengkapi teleskop berukuran 3,8 meter yang menjadi teleskop terbesar di Asia Tenggara. Namun, bobotnya ringan sekitar 20 ton.

"Teleskop itu dipasang di kaki Gunung Timau pada ketinggian sekitar 1.300 meter dari permukaan laut," ujarnya dalam dialog bertajuk mengenal teleskop 3,8 meter yang dipantau di Jakarta, Senin 25 September, disitat Antara.

Abdul menuturkan teleskop optik berdiameter 3,8 meter itu jauh lebih besar ketimbang teleskop yang saat ini dimiliki oleh Thailand berukuran 2,4 meter. Ukuran teleskop yang besar dapat mempertajam penglihatan terhadap benda-benda langit yang memiliki cahaya lebih redup.

Berdasarkan analisis BRIN, NTT memiliki kualitas langit yang jauh lebih bagus ketimbang daerah lain di Indonesia. Karena itu Observatorium Timau berada di lokasi yang tepat karena awan sangat sedikit. dan jumlah hari dengan langit cerah dalam setahun di atas 65 persen.

"Hal seperti itu sangat sulit kita temukan di daerah lain di Indonesia, karena negara kita negara tropis, sehingga banyak penguapan dan banyak awan," katanya.

Observatorium Timau yang ditargetkan rampung tahun ini punya keunikan karena dekat dengan ekuator dengan koordinat 9 derajat 35 menit 50,2 detik Lintang Selatan dan 123 derajat 56 menit 48,5 detik Bujur Timur. Hal itu memungkinkan teleskop cermin tersebut mampu mengamati objek-objek astronomi yang berada di belahan langit utara maupun selatan.

"Kita dekat dengan ekuator tetapi kita berada di sebelah selatan. Kebanyakan teleskop dunia berada di sebelah utara," kata Abdul. Karena itu, menurut dia, kontribusi observatorium itu kepada dunia menjadi lebih unik karena pengamatan dari belahan selatan Bumi," imbuhnya.

Teleskop itu memiliki cermin primer, sekunder, dan tersier. Struktur Laba-Laba menopang cermin sekunder di bagian atas teleskop. Cermin primer berbentuk hiperbola yang terdiri atas 18 segmen berbentuk kelopak bunga. Cermin sekunder berbentuk hiperbola berdiameter satu meter dapat bergerak 5 derajat.

Sedangkan, cermin tersier untuk mengarahkan cahaya ke titik fokus pada kamera di samping teleskop.

Sistem optik aktif pada struktur dasar penopang cermin primer berbentuk cincin. Teleskop dipasang di atas dudukan beton dan dilengkapi instrumen perekam berupa kamera fotometri 3OPTIKA dan NIRK.

"Kami berharap Observasi Timau membuat Indonesia bersaing kembali dengan bangsa maju lainnya di bidang astronomi dan sains antariksa," kata Abdul.

Lebih lanjut, dia menyampaikan Indonesia dulu pernah bersaing melalui Observatorium Bosca yang digunakan sejak tahun 1923.

Observatorium astronomi tertua di Indonesia yang terletak di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, sudah beroperasi selama 100 tahun dan telah memberikan banyak kontribusi kepada dunia internasional, terutama kepada pengamatan bintang ganda dengan resolusi teleskop yang sangat tinggi.

Bila dilihat dengan mata telanjang atau teleskop kecil terlihat seperti satu bintang, tetapi menggunakan teleskop refraktor ganda Zeiss 0,6 meter di Observatorium Bosca, bintang yang terlihat satu, bisa terlihat sebagai dua bintang karena daya pisah yang sangat tinggi.

"Itulah yang membuat bangsa kita bisa bersaing dengan negara maju dalam bidang astronomi. Kami berharap dengan adanya teleskop di Timau bisa melanjutkan prestasi yang dulu ditorehkan Observatorium Bosca, sehingga kita bisa bersaing dengan negara maju lainnya," pungkasnya.