Bagikan:

JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan dua saksi dalam sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi terhadap mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo (RAT) selaku terdakwa

Jaksa menjelaskan dua saksi yang dihadirkan tersebut adalah mantan sekretaris perusahaan (sekper) PT Airfast Indonesia Bachri Marzuki dan mantan spesialis pajak PT Artha Mega Ekadhana (PT Arme) Ary Fadilah.

"Sedianya, kami memanggil empat orang saksi, Yang Mulia. Namun, yang hari ini hadir dua orang. Saksi atas nama Bachri Marzuki dan atas nama Ary Fadilah silakan masuk ruang persidangan," kata JPU KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, dilansir dari Antara, Senin, 25 September. 

Jaksa menjelaskan saksi yang dihadirkan merupakan pihak dari PT ARME, perusahaan konsultan pajak milik terdakwa Rafael Alun. Selain itu, salah seorang saksi juga merupakan wajib pajak yang menjadi klien dari perusahaan tersebut.

"Saksi ini adalah dari PT Arme yang merupakan perusahaan konsultan pajak dan salah satunya, saksi satunya, adalah wajib pajak yang menjadi klien PT Arme," jelas jaksa saat menjawab pertanyaan dari penasihat hukum terdakwa Rafael Alun.

Penasihat hukum terdakwa RAT mempertanyakan kapasitas saksi yang dihadirkan. Menurut penasihat hukum, saksi yang dihadirkan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 160 ayat (1) KUHAP bahwa saksi yang pertama kali didengarkan keterangannya adalah saksi korban.

"Kami minta penjelasan dari JPU KPK bagaimana implementasi (Pasal) 160 ayat 1 (KUHAP) tersebut? Dan kenapa tidak dihadirkan pertama kali sesuai dengan Pasal 160 ayat 1?" tanya penasihat hukum. 

Terkait hal itu, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Suparman Nyompa menegaskan bahwa saksi korban dihadirkan pertama kali untuk perkara yang menyangkut kejahatan terhadap jiwa atau harta benda. Hal itu berbeda dengan perkara dugaan korupsi yang didakwakan terhadap RAT.

"Jadi, ini tadi yang disampaikan oleh penasihat hukum terdakwa itu maksudnya saksi korban ini, kalau itu menyangkut kejahatan terhadap jiwa atau harta benda. Ini kan tindak pidana korupsi, berbeda," tegas Suparman.

Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menolak eksepsi atau nota keberatan terdakwa Rafael Alun.

Majelis hakim berpendapat keberatan penasihat hukum terdakwa Rafael Alun tidak beralasan hukum, karena surat dakwaan JPU KPK telah memuat syarat formal dan material sesuai ketentuan yang berlaku.

"Mengadili, menyatakan keberatan penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima," kata Suparman dalam persidangan pembacaan putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (18/9).

Dalam perkara tersebut, jaksa KPK mendakwa Rafael Alun Trisambodo menerima gratifikasi senilai Rp16,6 miliar.

JPU KPK menyatakan gratifikasi itu diterima Rafael Alun dan istrinya, Ernie Meike Torondek, yang merupakan salah seorang saksi dalam perkara dugaan penerimaan gratifikasi itu.

"Terdakwa bersama-sama dengan Ernie Meike Torondek secara bertahap sejak tanggal 15 Mei 2002 sampai dengan bulan Maret 2013 telah menerima gratifikasi berupa uang, seluruhnya sejumlah Rp16.644.806.137," kata JPU KPK Wawan Yunarwanto di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (30/8).

Selain itu, Rafael bersama istrinya juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan nilai mencapai Rp100 miliar.