JAKARTA - Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari menilai kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau dinilai tidak optimal untuk menurunkan tingkat prevalensi merokok anak.
"Kalau kebijakan cukai tidak berdampak pada pengendalian tembakau, kebijakan pembatasan harga jual eceran (HJE) yang harus didorong dan dikaji. Karena berapa pun cukai rokok naik, kalau harga rokok masih rendah ya pasti masih bisa dijangkau," ujar Lisda dikutip dari Antara, Rabu 3 Februari.
Lisda menuturkan, belum ada kemajuan atau perkembangan yang signifikan terkait dampak kebijakan pengendalian tembakau. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pemerintah menargetkan perokok anak turun jadi 5,4 persen, namun ternyata Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 justru menunjukkan perokok anak usia 10-18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen atau 3,2 juta orang.
Menurut Lisda, hal tersebut harusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah bahwa melindungi anak dan masyarakat dari rokok itu harus dengan peraturan dan regulasi yang kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok.
"Baik dari segi keterjangkauan, harga, promosi, itu masih sangat tidak terlindungi. Jadi walaupun setiap tahun katanya cukai rokok naik, tapi pada kenyataannya harga rokok tetap terjangkau," kata Lisda.
Sementara itu, peneliti dari The Prakarsa Herni Ramdlaningrum mengatakan, cukai rokok idealnya akan menyebabkan harga rokok naik. Akan tetapi dalam konteks industri rokok hal tersebut tidak serta merta berlaku.
BACA JUGA:
"Jadi mungkin cukai rokok naik, tapi harga rokok tidak signifikan kenaikannya. Masyarakat punya substitusi terhadap jenis rokok yang lain," ujar Herni.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memperkirakan produksi rokok akan turun hingga 3,3 persen tahun ini setelah pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata tertimbang sebesar 12,5 persen pada 1 Februari 2021.
BKF memprediksi angka prevalensi merokok dewasa akan turun menjadi 32,3 hingga 32,4 persen dan anak-anak hingga remaja turun menjadi 8,8 hingga 8,9 persen. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024, angka prevalensi merokok anak ditargetkan mencapai 8,7 persen pada 2024.