Bagikan:

JAKARTA - Permintaan otoritas Mali agar PBB menarik pasukan penjaga perdamaiannya akhir tahun ini adalah resep bencana, seiring dengan peningkatan serangan ISIS di wilayah negara Afrika Barat tersebut, kata diplomat Amerika Serikat.

"Seperti yang banyak dari kita khawatirkan, keputusan pemerintah transisi untuk menutup MINUSMA (United Nations Multidimensional Integrated Stabilization Mission in Mali) telah memicu kekerasan baru di lapangan,” kata Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield kepada Dewan Keamanan PBB, melansir The National News 29 Agustus.

Lebih jauh ia memperingatkan tentang potensi perang, menekankan peristiwa semacam itu dapat "menimbulkan kehancuran yang tak terkatakan dan tak terpikirkan bagi rakyat Mali”.

Diplomat AS tersebut menggarisbawahi, meningkatnya ketidakstabilan dapat membuka jalan bagi perluasan kelompok teror di wilayah tersebut.

"Ini akan menjadi resep bencana," ungkapnya.

Sementara itu, kerusuhan, yang dipicu oleh cabang lokal Al Qaeda dan ISIS, telah meningkat dalam satu tahun terakhir, setelah para pemimpin militer di negara tersebut memaksa pasukan Prancis keluar, memerintahkan 15.000 pasukan penjaga perdamaian PBB untuk pergi pada tanggal 31 Desember dan bergabung dengan tentara bayaran Grup Wagner Rusia.

Menurut laporan PBB yang dirilis pada Jumat lalu, ekstremis ISIS telah menguasai hampir dua kali lipat wilayah yang mereka kuasai di Mali dalam waktu kurang dari setahun.

Selain itu, Jama'at Nusrat Al Islam Wa Al Muslimin, kelompok teroris yang berbasis di Mali dan aktif di seluruh Afrika Barat, "kini memposisikan dirinya sebagai satu-satunya aktor yang mampu melindungi masyarakat dari serangan ISIS di Greater Sahara".

PBB terpaksa mempercepat proses penarikan bulan ini setelah meningkatnya pertempuran.

pasukan pbb di mali
Pasukan perdamaian PBB di MALI (MINUSMA). (Wikimedia Commons/MONUSCO Photos)

Kepala misi penjaga perdamaian di Mali El-Ghassim Wane dalam laporan kepada Dewan Keamanan PBB menyebutkan, empat penjaga perdamaian PBB terluka dalam dua serangan selama penarikan dari kamp Ber di utara, di tengah ketegangan antara Koordinasi Gerakan Azawad – koalisi kemerdekaan Tuareg dan kelompok nasionalis Arab – dengan junta Mali yang didukung Wagner.

Ia mengatakan, hampir 1.100 pasukan penjaga perdamaian PBB sejauh ini telah meninggalkan Mali. Namun, diplomat PBB memperingatkan, penarikan tahap kedua akan sangat menantang karena kalender yang ketat dan situasi keamanan yang berbahaya.

Tindakan ini akan melibatkan pelepasan enam pangkalan di Mali utara, timur laut dan tengah pada tanggal 15 Desember.

"Fase ini memang akan sangat sulit," kata Wane kepada dewan.

Diketahui, penarikan tahap pertama dimulai pada 17 Juli dan berakhir pada Hari Jumat lalu.

Namun demikian, katanya, penarikan diri atas permintaan Pemerintah Mali dan resolusi Dewan Keamanan berikutnya, tetap "sesuai rencana" dan harus selesai pada tanggal 31 Desember.

Menutup misi yang dibangun selama lebih dari satu dekade dan harus diselesaikan dalam jangka waktu enam bulan, katanya, adalah "upaya yang sangat kompleks dan ambisius" dan menjadi lebih menantang karena sejumlah kekhawatiran lain terkait dengan kemanusiaan, iklim, logistik dan infrastruktur.

Dia menambahkan, kudeta militer di negara tetangga Niger juga berdampak pada operasi penarikan PBB.

"Sangat penting bagi kami untuk dapat mengangkut peralatan dan material melalui Niger untuk mencapai pelabuhan-pelabuhan utama," ujarnya.

Selama dekade terakhir, lebih dari 300 pasukan penjaga perdamaian PBB telah terbunuh di Mali, menjadikannya misi penjaga perdamaian paling mematikan dan termahal di dunia dengan anggaran 1,2 miliar dolar AS.