Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Sudan mengancam mengakhiri misi Perserikatan Bangsa-bangsa di negara yang dilanda perang itu jika perwakilan Sekretaris Jenderal Antonio Guterres memberikan laporan kepada Dewan Kemananan.

Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengatakan "sangat tidak patut" bagi Sudan menghancurkan misi karena Volker Perthes berencana memberi laporan pada Rabu, 9 Agustus.

Asisten Sekretaris Jenderal Martha Ama Akyaa Pobee memberi laporan kepada Dewan sebagai pengganti Perthes setelah namanya dihapus pada menit-menit terakhir, kata Greenfield, yang bertugas sebagai presiden Dewan selama bulan Agustus.

"Seharusnya tidak ada satu negara pun yang dapat mengancam pemberi laporan untuk diam, terlebih utusan PBB," kata Greenfield dilansir ANTARA dari Anadolu, Kamis, 10 Agustus.

Dia mengatakan konflik "telah mengubah sebagian besar Sudan menjadi neraka dunia."

“Cerita dan gambaran yang muncul dari Sudan, terutama Darfur sangat mengerikan. Ada laporan terpercaya bahwa Pasukan Dukungan Cepat dan milisi sekutu melakukan kekejaman berkelanjutan di Darfur Barat, pembunuhan berdasarkan etnis, dan kekerasan seksual yang meluas terhadap perempuan," tambah dia.

Greenfield mengatakan Dewan Keamanan "memiliki tanggung jawab untuk menuntut semua pihak mematuhi kewajiban mereka di bawah hukum internasional mengenai perlindungan bagi warga sipil," sambil mendesak pihak berperang untuk meletakkan senjata.

"Mari kita lakukan segala daya untuk mengakhiri pertumpahan darah. Masa depan politik Sudan adalah milik rakyat Sudan, bukan milik orang-orang bersenjata yang memperpanjang penderitaan manusia," tutup Greenfield.

Sudan telah dirusak pertempuran antara militer dengan Pasukan Dukungan Cepat sejak April dalam konflik yang menewaskan lebih dari tiga ribu warga sipil dan melukai ribuan lainnya, menurut petugas medis setempat. Dan lebih dari empat juta orang mengungsi, kata PBB.

Misi PBB, yang dikenal dengan UNITAMS, adalah misi politik khusus yang ditugaskan membantu masa transisi Sudan menuju pemerintahan demokratik setelah puluhan tahun berada dalam pemerintahan orang kuat di bawah mantan Presiden Omar al-Bashir.