Bagikan:

JAKARTA - Kuasa hukum KPU Kalimantan Selatan Ali Nurdin mengatakan pelanggaran secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam pilkada bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili.

"Dalil pemohon mengenai adanya pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif adalah bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadilinya sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015," ujarnya dalam sidang sengketa hasil pilkada serentak 2020 di gedung Mahkamah Konstitusi dikutip Antara, Senin, 1 Februari.

Dia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada sudah membagi dengan jelas bahwa pelanggaran TSM adalah wewenang pengawas pemilihan umum.

Menurut Ali Nurdin, tuntutan calon gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Selatan Denny Indrayana-Difriadi agar MK memeriksa dugaan pelanggaran TSM adalah suatu bentuk pengambilalihan kewenangan. Padahal Bawaslu Kalimantan Selatan dapat melaksanakan tugas dengan baik.

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa hasil Pilkada 2015, 2017 dan 2018 pun disebutnya tidak satu pun didasarkan karena terjadi pelanggaran TSM.

Sementara terkait permintaan untuk mendiskualifikasi pasangan calon lain dalam pilkada, Ali Nurdin menegaskan terdapat mekanisme yang diawali dengan adanya laporan atau temuan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh Bawaslu.

Apabila dalam pemeriksaan, pasangan calon pilkada terbukti melakukan pelanggaran, maka Bawaslu memberikan rekomendasi kepada KPU untuk membatalkan kepesertaan calon dalam pilkada.

Sementara itu, dari sebanyak 136 permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah 2020 yang didatarkan ke Mahkamah Konstitusi, lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif mencatat 41 di antaranya mendalilkan dugaan terjadi pelanggaran TSM dan merupakan yang paling banyak didalilkan oleh pemohon.