Bagikan:

JAKARTA - Otoritas Iran tengah mempertimbangkan rancangan undang-undang (RUU) hijab baru yang lebih ketat, dengan ahli mengatakan itu mengatur hukuman keras yang belum pernah ada sebelumnya, hanya beberapa minggu jelang setahun kematian Masha Amini yang memicu protes massal.

Rancangan undang-undang yang terdiri dari 70 pasal itu menetapkan serangkaian usulan, termasuk hukuman penjara yang lebih lama bagi perempuan yang menolak mengenakan jilbab, hukuman baru yang berat bagi selebriti dan bisnis yang melanggar aturan, dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk mengidentifikasi perempuan yang melanggar aturan berpakaian.

Para ahli mengatakan, RUU yang belum disahkan tersebut merupakan peringatan bagi warga Iran, bahwa pemerintah tidak akan mundur dari sikapnya terhadap hijab meskipun demonstrasi massal mengguncang negara itu tahun lalu, seperti dilansir dari CNN 3 Maret.

RUU itu diajukan oleh kehakiman kepada pemerintah untuk dipertimbangkan awal tahun ini, kemudian diteruskan ke parlemen dan selanjutnya disetujui oleh Komisi Hukum dan Kehakiman. Itu akan diserahkan ke Dewan Gubernur Minggu ini sebelum diperkenalkan di parlemen.

Parlemen Iran sendiri akan bekerja menyelesaikan teks dan memberikan suara pada RUU itu "dalam dua bulan ke depan," lapor kantor berita pemerintah Mehr.

polisi moral iran
Polisi moral Iran. (Wikimedia Commons/Fars Media Corporation/Satyar Emami)

"Ini adalah tanggapan yang jelas terhadap protes dari Bulan September musim gugur yang lalu," kata Sanam Vakil, direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara di think-tank Chatham House di London, kepada CNN, menambahkan itu bagian dari usaha untuk "menegaskan kembali otoritas atas jilbab dan persyaratan yang diharapkan dari wanita."

Iran diguncang protes massal tahun lalu, setelah Mahsa Amini, seorang wanita Kurdi-Iran berusia 22 tahun, meninggal pada Bulan September setelah ditahan oleh polisi moralitas dan dibawa ke 'pusat pendidikan ulang', diduga karena tidak mematuhi aturan berpakaian yang ketat di negara itu.

Meskipun tidak secara resmi dibubarkan, sebagian besar polisi moralitas mundur setelah protes tahun lalu, yang secara bertahap mereda.

Namun awal bulan ini, juru bicara kepolisian Jenderal Saeed Montazerolmahdi mengatakan polisi moralitas akan kembali melakukan imbauan dan kemudian menahan wanita yang tertangkap tanpa jilbab di depan umum.

RUU baru akan mengklasifikasikan kembali kegagalan mengenakan jilbab sebagai pelanggaran yang lebih berat, dapat dihukum dengan hukuman penjara lima sampai sepuluh tahun serta denda yang lebih tinggi hingga 360 juta rial Iran (8.508 dolar AS).

Denda itu jauh melebihi apa yang dapat dibayar rata-rata orang Iran, karena jutaan orang berada di bawah garis kemiskinan, kata Hossein Raeesi, seorang pengacara hak asasi manusia Iran dan asisten profesor di Universitas Carleton di Ottawa, Kanada, kepada CNN.

Bagian lain RUU menyatakan, untuk menegakkan undang-undang baru, polisi Iran harus "membuat dan memperkuat sistem AI untuk mengidentifikasi pelaku perilaku ilegal menggunakan alat seperti kamera tetap dan kamera bergerak."

protes iran
Protes kematian Mahsa Amini di Iran. (Wikimedia Commons/Darafsh)

Awal tahun ini, media pemerintah melaporkan kamera pengawas akan dipasang di tempat umum untuk mengidentifikasi perempuan yang melanggar hukum hijab di negara tersebut.

Selain itu, di bawah undang-undang baru, pemilik bisnis yang tidak menegakkan persyaratan hijab akan menghadapi denda yang lebih besar, berpotensi sebesar tiga bulan dari keuntungan bisnis mereka, dan menghadapi larangan meninggalkan negara atau berpartisipasi dalam aktivitas publik atau dunia maya hingga dua tahun.

RUU itu juga menargetkan selebritas, yang mungkin menghadapi denda hingga sepersepuluh dari kekayaan mereka, dikeluarkan dari pekerjaan atau aktivitas profesional untuk jangka waktu tertentu, serta larangan perjalanan internasional dan aktivitas media sosial.

Rancangan undang-undang tersebut juga akan mengamanatkan pemisahan gender yang lebih luas di universitas dan ruang publik lainnya.

Beberapa langkah dalam rancangan undang-undang tersebut telah dilakukan secara melanggar hukum oleh pasukan keamanan Iran, kata Raeesi, termasuk penutupan sebuah perusahaan asuransi di Teheran belum lama ini, setelah beberapa foto karyawan wanita tanpa hijab beredar di media sosial. Dengan RUU ini, pemerintah akan "melegalkan perilaku ilegal" oleh pasukan tersebut, kata Raeesi.

Para ahli percaya undang-undang tersebut, atau bagian darinya, kemungkinan akan disahkan dalam beberapa bentuk,meskipun Raeesi mengatakan ada kemungkinan pemerintah dapat menarik RUU tersebut jika mampu mengendalikan segala potensi keresahan saat peringatan wafatnya Masha Amini.

Jika RUU itu disahkan oleh parlemen, itu juga harus disetujui oleh dewan penjaga rezim, kata Raeesi, merujuk Dewan Wali yang beranggotakan 12 orang, memastikan undang-undang yang disahkan sejalan dengan nilai-nilai Islam dan konstitusi Iran. Setiap RUU yang disahkan oleh parlemen harus ditinjau dan disetujui oleh dewan untuk menjadi undang-undang.

Sementara itu, para ahli mengatakan RUU tersebut mengirimkan pesan yang jelas kepada rakyat Iran.

"Sistem ini mencoba menjelaskan bahwa keringanan hukuman tidak akan ditoleransi. Ada sistem hukuman yang jelas dan bertahap bagi individu yang melanggar undang-undang pakaian di negara ini," tutup Vakil.