Bagikan:

JAKARTA - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta maaf kepada pegawainya akibat polemik penetapan Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka.

Permintaan maaf disampaikan dalam forum internal yang dihadiri ratusan pegawai dari kedeputian penindakan dan eksekusi.

“Kami sampaikan permintaan maaf kepada pegawai jika dalam penanganan perkara Basarnas ini kemudian menimbulkan kegaduhan di internal KPK," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin, 31 Juli.

Alexander menegaskan tak ada satu pun pegawainya yang salah dalam menangani dugaan suap di Basarnas. Dia juga memastikan pimpinan KPK tidak akan mundur dari posisinya.

“Kami juga pastikan ke teman-teman pegawai bahwa pimpinan akan semakin kompak dan kami tidak akan mundur sampai akhir jabatan kami sesuai Undang-Undang," tegasnya.

Sebelumnya, pegawai kedeputian penindakan dan eksekusi KPK menuntut pimpinan untuk meminta maaf dan mundur dari jabatannya. Tuntutan ini disampaikan merespons polemik operasi tangkap tangan (OTT) Badan SAR Nasional (Basarnas). 

Berdasarkan surat elektronik yang tersebar, para pegawai menyesalkan pernyataan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pada Jumat, 28 Juli kemarin usai bertemu dengan rombongan Puspom TNI.

Pertemuan terjadi setelah polemik penetapan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kabasarnas Letkol Afri B. C. sebagai tersangka penerimaan suap pengadaan alat.

"Kami sebagai grass root di tubuh penindakan KPK sangat prihatin atas pernyataan salah satu Pimpinan KPK yang terkesan menyalahkan petugas atau tim lapangan atas hasil kerja kerasnya yang telah bersusah payah mengorbankan keselamatan diri, waktu, tenaga, dan pikiran," demikian dikutip dari surat tersebut pada Sabtu, 29 Juli.

Tak sampai di sana, mereka mempertanyakan alasan Johanis menyebut penyelidik dan penyidik khilaf.

"Bukankah penetapan tersangka juga melalui proses yang panjang dan mekanisme ekspos perkara yang dihadiri pimpinan dan berlaku keputusan yang menganut asas kolektif kolegial?"

"Mengapa kami yang bekerja dengan segala upaya dan keselamatan kami jadi taruhan namun kami juga yang menjadi pihak yang disalahkan?" tulis pegawai di surat ini.

Dalam kasus ini, Henri ditetapkan sebagai tersangka sebagai buntut dari operasi tangkap tangan (OTT) di Cilangkap, Jakarta dan Jatisampurna, Bekasi pada Selasa, 24 Juli.

Dia diduga meraup fee atau yang disebut dana komando hingga Rp88,3 miliar. Duit itu dikantongi dari pihak swasta yang ingin mengerjakan proyek di lembaganya sejak 2021-2023 melalui Koorsmin Kabasarnas Afri Budi Cahyanto.