Bagikan:

JAKARTA - Atase Kejaksaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Bangkok, Thailand, membantu membebaskan enam orang warga negara Indonesia (WNI) korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang terkena kasus hukum di negara itu, salah satunya karena masuk secara ilegal.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menyampaikan, Atase Kejaksaan RI di KBRI Bangkok, Virgaliano Nahan, mengajukan permohonan pemberhentian penuntutan ke Pengadilan Chiang Rai di Thailand untuk enam WNI itu karena mereka merupakan korban TPPO.

"Terhitung 6 bulan sejak permohonan penghentian penuntutan diajukan oleh Atase Kejaksaan KBRI di Bangkok akhirnya pada 25 Juli 2023 Pengadilan Chiang Rai mengizinkan Kejaksaan Provinsi Chiang Rai menghentikan penuntutan terhadap keenam korban TPPO tersebut. Oleh karenanya, enam korban TPPO itu akan kembali ke Indonesia dalam waktu dekat sambil menunggu proses keimigrasian," kata Ketut Sumedana dalam siaran resminya di Jakarta, Antara, Minggu, 30 Juli. 

Dia menjelaskan penghentian penuntutan karena alasan para tersangka merupakan korban TPPO yang pertama kali terjadi di Thailand.

"Oleh karenanya, itu harus melalui proses panjang dari Jaksa Agung Thailand di Bangkok dan Kejaksaan Provinsi Chiang Rai," katanya.

Enam WNI korban TPPO itu, yakni Eric Febrian, Raindy Wijaya, Hendriant Tritrahadi, Chelsy Alviana, dan Andrean Faust. Mereka sempat ditahan otoritas penegak hukum di Chiang Rai, Thailand pada Juli 2022.

Enam korban yang diselundupkan dari Tachilek, Myanmar, ditahan otoritas di Chiang Rai karena dianggap melanggar beberapa aturan, di antaranya masuk wilayah Thailand secara ilegal, melanggar protokol COVID-19, dan melarikan diri dari persidangan untuk dakwaan masuk secara ilegal.

Dalam prosesnya, enam WNI itu pada November 2022 ditetapkan sebagai korban TPPO oleh otoritas Thailand di Mae Sot (Department Anti-Trafficking in Persons/DAIP).

Namun, enam orang itu tetap tidak dapat kembali ke Indonesia karena adanya perintah penahanan dari Pengadilan Chiang Rai.

Enam korban itu sempat dibebaskan dari tahanan karena ada pihak yang menjamin mereka.

Namun, mereka justru kembali diselundupkan ke Myawadee, Myanmar, melalui Provinsi Mae Sot di Thailand.

Di Myawadee, enam WNI itu dipaksa bekerja sebagai penipu di dunia maya (scammer) selama 3 bulan sampai akhirnya mereka dikembalikan kembali oleh sindikat penipu ke Mae Sot, Thailand.

Sekembalinya ke Thailand, keberadaan para korban TPPO itu diketahui perwakilan RI di Bangkok. Atase Kejaksaan RI di KBRI Bangkok langsung menghubungi Kejaksaan Agung Thailand dan menginformasikan status TPPO mereka, serta kondisinya yang tidak dapat kembali ke Tanah Air karena perintah penahanan  Pengadilan Chiang Rai.

Otoritas di Thailand mulanya tidak dapat membebaskan enam WNI itu karena mereka dianggap harus melalui proses hukum dan menjalani hukumannya.

Namun, Atase Kejaksaan RI menyusun argumen hukum yang salah satunya menyatakan bahwa para korban tidak dapat diproses hukum atas perbuatan pidana yang terpaksa mereka lakukan sebagai korban. Argumen itu sejalan dengan isi Konvensi Palermo, yang bertujuan melindungi para korban TPPO.

Atase Kejaksaan RI di Bangkok juga mengirimkan bukti-bukti yang menunjukkan enam WNI itu korban TPPO kepada Kejaksaan di Thailand sehingga penuntutan terhadap mereka harus dihentikan.