JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta mencatat ketimpangan ekonomi atau gini ratio warga Jakarta meningkat, padahal jumlah warga miskin di Ibu Kota menurun sejak enam bulan lalu.
Warga miskin di Jakarta pada Maret 2023 berkurang 17.100 jiwa dari enam bulan lalu, yakni pada September 2022. Angka kemiskinan saat ini 4,4 persen dan selama enam bulan terakhir turun 0,17 persen.
Namun, gap antara pendapatan penduduk pada kelas bawah dan kelas atas sebesar 0,431 persen. Angka ini meningkat 0,019 persen dari September 2022 yang angkanya sebesar 0,412.
"Sekalipun jumlah penduduk miskin sudah berkurang pada periode ini, namun masih menyisakan PR ketimpangan yang semakin meningkat. Artinya gap antara pendapatan penduduk pada kelas bawah dan kelas atas justru semakin tinggi," ucap Plt Kepala BPS Provinsi DKI Jakarta Dwi Paramita Dewi dalam keterangannya, dikutip pada Selasa, 18 Juli.
Pada periode ini, distribusi penduduk pada kelompok pengeluaran 40 persen terbawah turun 0,60 persen poin menjadi 16,39 persen dibandingkan periode September 2022.
Persoalan kemiskinan ini, menurut Dwi, bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan.
Pada periode September 2022-Maret 2023, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami kenaikan.
"Indeks kedalaman kemiskinan naik 0,013 yang berarti jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin sedikit menjauh dari garis kemiskinan. Dan indeks keparahan kemiskinan juga naik sebesar 0,017 yang berarti ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin juga semakin tinggi," urai Dwi.
Lebih lanjut, Dwi menuturkan garis kemiskinan di Jakarta Rp792.515 per orang dan rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin sebanyak 4-5 orang (rata-rata 4,89).
Sehingga, jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan di setiap rumah tangga miskin adalah sebesar Rp3.875.398 per bulan. Sementara, tingkat pendidikan sebagian besar penduduk miskin tidak terlalu tinggi.
"Kondisi ini menyebabkan kepala rumah tangga miskin cenderung bekerja serabutan di sektor-sektor informal seperti perdagangan, jasa perorangan dan perikanan khususnya di Kepulauan Seribu," urai Dwi.
BACA JUGA:
Dengan demikian, Dwi menyimpulkan rumah tangga miskin tetap mengalami kesulitan ekonomi karena dengan pendapatan yang relatif kecil tetapi tetap harus menanggung 4-5 orang.
"Angka ini terbilang tinggi dan mengakibatkan sulit bagi penduduk miskin untuk memenuhi kebutuhan semua anggota rumah tangga dan berjuang keluar dari kemiskinan," imbuhnya.