Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) Dr dr Moh. Adib Khumaidi, Sp.OT mengemukakan penyelesaian masalah kesehatan di Indonesia tidak bisa dilihat hanya dari "kacamata" tingkat nasional, tanpa memperhitungkan situasi di daerah.

"Tidak bisa hanya melihat dalam aspek peningkatan infrastruktur, pemberian alat canggih, atau terkait dengan jumlah dokter atau spesialis yang kurang saja," katanya dilansir ANTARA, Senin, 10 Juli.

Pernyataan Adib  itu disampaikan berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang dijadwalkan memasuki tahap Sidang Paripurna DPR pada Selasa (11/7) siang.

RUU Kesehatan dirancang dalam rangka mendukung program Transformasi Kesehatan, yakni Transformasi Layanan Primer, Layanan Rujukan, Sistem Ketahanan Kesehatan, Sistem Pembiayaan Kesehatan, SDM Kesehatan, dan Teknologi Kesehatan.

Dia mengatakan, perspektif yang harus dibangun dalam membuat kebijakan kesehatan harus masuk di dalam kerangka sistem kesehatan nasional.

Menurut dia  sistem kesehatan nasional ditopang tujuh subsistem, di antaranya subsistem upaya kesehatan, subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem tentang farmasi dan alat kesehatan.

"Itu tidak hanya bicara terkait dengan enam pilar Transformasi Kesehatan saja, harus melihat dan mengidentifikasi problematika kesehatan di Indonesia yang saat ini masih sarat dengan permasalahan-permasalahan," katanya.

Adib telah berdiskusi dengan para sejawat di daerah untuk melihat langsung kondisi yang tidak sesederhana dilihat dari "kacamata" tingkat nasional saja.

"Masih ada problem terkait dengan kekurangan sarana prasarana pendukung kesehatan. Ada daerah yang masih kekurangan air sehingga tindakan-tindakan yang berkaitan dengan kebutuhan air bersih pun juga terkendala," katanya.

Adib menyebut permasalahan lainnya seperti ketiadaan obat, ketiadaan alat kesehatan, bahkan ada pemerintah daerah yang masih kurang perhatian kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Menurut dia, pendekatan kebijakan kesehatan juga perlu bersandar pada kearifan lokal mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki perbedaan karakteristik budaya.

"Bicara terkait dengan problem kebutuhan dokter dan dokter spesialis, tidak hanya bicara produksi saja, tapi juga bicara distribusi," katanya.

Menurut dia saat ini ada Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014 yang belum diperkuat dalam perhitungan alokasi kebutuhan sumber daya manusia kesehatan, tenaga medis, dan tenaga kesehatan.

"Itu menjadi sebuah dasar bahwa daerah itu masih kekurangan atau bahkan kelebihan dokter spesialis atau tenaga kesehatan yang lainnya," katanya.

Dia mengatakan, produksi tenaga kesehatan dan tenaga medis juga perlu memperhitungkan dukungan infrastruktur hingga kebutuhan sosial agar bisa dimanfaatkan di daerah.

"Semuanya itu adalah tanggung jawab yang bukan dibebankan pada satu sektor saja. IDI hanyalah bagian kecil dari sebuah kebijakan yang harus dibangun oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah," ujar Adib.