Soal Perjanjian Nuklir AS-Iran, Menlu AS: Ada Syaratnya
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (Menlu AS) Antony Blinken membuat pernyataan perdananya, usai disepakati Senat AS sebagai Menteri Luar Negeri. Dalam pernyataannya Rabu 27 Januari waktu setempat, Blinken menyebut soal perjanjian nuklir dengan Iran.

Diplomat veteran ini mengatakan, Teheran harus mematahui kembali seluruh kesepakatan nuklir 2015 dan patuh secara sungguh-sungguh. Menurutnya, jika Iran memenuhi kewajibannya di JCPOA, Amerika Serikat akan melakukan hal yang sama. 

Jika Iran kembali ke kesepakatan, Washington akan berusaha untuk membangun apa yang disebut Blinken sebagai 'perjanjian yang lebih lama dan lebih kuat' yang akan menangani masalah 'yang sangat bermasalah' lainnya.

"Iran tidak patuh di sejumlah bidang dan akan memakan waktu. Jika itu membuat keputusan untuk melakukannya, untuk kembali ke kepatuhan dan waktu bagi kami untuk menilai apakah itu memenuhi kewajibannya," kata Blinken, melansir Reuters.

"Kami belum sampai di sana, tapi kami akan membawa perspektif yang berbeda tentang masalah ini," imbuhnya tanpa menyebut pejabat AS yang akan membahas hal ini dengan Iran

Kesepakatan nuklir, yang secara resmi disebut Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), disepakati oleh Iran dan enam negara besar pada tahun 2015. Iran berkomitmen membatasi program nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi dari Amerika Serikat dan lainnya.

Presiden AS Joe Biden tidak menutup peluang pemerintahannya kembali ke perjanjian ini. Sebelumnya, mantan Presiden Donald Trump membatalkan kesepakatan pada 2018 dan menerapkan kembali sanksi AS, yang menyebabkan Iran mulai melanggar ketentuannya. 

Sementara, Israel sebagai salah satu sekutu AS sudah menegaskan, rencana untuk kembali ke perjanjian nuklir dengan Iran sebagai langkah yang salah.

"Kembali ke perjanjian nuklir 2015 atau bahkan jika itu kesepakatan seruap dengan beberapa perbaikan, adalah buruk dan salah dari sudut pandang operasional dan strategis," kata Kepala Staf Militer Israel Letnan Jenderal Aviv Kochavi Selasa lalu.