JAKARTA - Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu), terdapat klausul yang mengundang polemik. Klausul tersebut melarang mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi atau pemilu, baik pilkada, pileg, maupun pilpres.
Menurut Dr. Johannes Tuba Helan, dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, larangan dalam RUU Pemilu itu adalah hal yang berlebihan.
"Menurut saya, dari segi negara hukum dan demokrasi kami, larangan terhadap eks anggota HTI ikut mencalonkan diri dalam pemilihan itu berlebihan karena ini seperti menghukum mereka berulang-ulang," jelas Johannes, Rabu, 27 Januari, dikutip dari Antara.
Ia mengatakan, pihak-pihak yang dahulu menjadi anggota HTI bisa jadi tak berpikir bahwa organisasi tersebut berbahaya. Alasannya, organisasi tersebut awalnya memiliki izin pendirian. Jadi ketika HTI dibubarkan, para mantan anggotanya tak perlu dilarang ketika ingin ikut bertarung dalam kontestasi politik itu.
BACA JUGA:
Ia melanjutkan, bisa jadi para mantan anggota HTI telah berubah dan patuh kepada konsensus berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hak-hak politik mereka, tambah Johannes, tak boleh terlalu dikekang.
"Jadi, jangan mereka seperti dihukum berulang-ulang karena pada akhirnya rakyat sendiri yang memilih atau tidak memilih mereka," papar akademisi Undana.
Terlebih lagi, para mantan anggota HTI juga tak serta-merta lolos saat mencalonkan diri. Masih ada seleksi yang harus dijalani jika ingin mengikuti pesta dekomkrasi tersebut.
"Jika ditemukan masih berideologi lain yang bertetangan, bisa digugurkan pencalonannya," papar Johannes.