Bagikan:

JAKARTA - Komisi X DPR RI mendorong kembali pembentukan guru BP (Bimbingan Penyuluhan) atau BK (Bimbingan Konseling) di sekolah-sekolah guna mengantisipasi adanya kejadian bullying atau perundungan. Dengan adanya bimbingan yang tepat, diharapkan para siswa bisa mendapatkan pendidikan moral yang baik.

"Dulu setahu saya ada yang namanya guru BP seperti bimbingan konseling. Sekarang ini kan tidak terlalu berfungsi. Padahal kan bimbingan konseling ini perlu sekali," kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, Selasa 4 Juli.

Dede menggarisbawahi bullying terhadap siswa SMP Negeri 2 Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, berinisial R (13) yang membakar sekolahnya. Kasus siswa bakar sekolah ini diketahui dipicu sakit hati karena kerap dibully atau dirundung teman-temannya.

Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat itu pun menyebut, peran bimbingan konseling di era keterbukaan informasi seharusnya lebih ditingkatkan. Dede menilai, bimbingan atau pendampingan konseling tak hanya bisa dilakukan oleh guru semata, tapi juga dapat dibantu oleh siswa-siswa yang tertarik dalam bidang psikologi dan telah mendapat pelatihan.

Ditambahkannya, korban yang mengalami perundungan memiliki sisi traumatis yang memungkinkan adanya tindakan murung atau malah pembalasan yang mungkin di luar nalar manusia. Untuk itu, kata Dede, perundungan harus diantisipasi karena hal ini merupakan permasalahan serius.

"Yang saya lihat anak-anak korban perundungan yang terbebankan. Katakanlah korban itu bisa menjadi trauma, bisa juga akhirnya membalas," ungkapnya.

Dede mengatakan, kejadian bullying atau perundungan kerap terjadi akibat tiga hal. Pertama karena adanya 'keterbukaan informasi media sosial' yang luas sehingga menimbulkan persepsi bahwa melakukan hal tersebut memiliki kesan hebat dan keren.

"Tentunya peran dari pada informasi yang ataupun kita sebut saja media sosial, pemberitaan TV yang cendrung membuat bullying itu menjadi justifikasi sehingga anak-anak melihat kok keren deh kita bisa melakukan bullying kepada orang lain," jelas Dede.

Selanjutnya yang kedua ialah karena fungsi 'pengawasan' dilakukan oleh dua pihak yakni guru dan orang tua. Menurut Dede, saat ini tidak ada kolaborasi yang tepat antara guru dan orang tua dalam memperhatikan tumbuh kembang anak.

"Kita melihat sekarang hubungan orang tua dengan guru ini semakin kurang terjadi karena berbagai faktor. Seolah-olah kalau orang tua menitipkan anak di sekolah maka itu sudah menjadi tugas sekolah, padahal kan pendidikan karakter dimulai dari rumah," papar Legislator dari Dapil Jawa Barat II ini.

Dede menyebut peran orang tua dan guru yang tidak sejalan juga dapat menimbulkan sisi negatif lainnya. Seperti adanya ketidaksepahaman saat anak melakukan kesalahan dan mendapat hukuman dari sekolah.

"Sehingga akhirnya guru pun tidak berani juga melakukan fungsi pengawasan atau memberikan sanksi karena takut kena hak azasi manusia (HAM) atau mungkin diadukan ke pihak yang berwajib," terang Dede.

Sementara itu faktor ketiga terciptanya bullying atau perundungan disebut lantaran saat ini banyak sekolah yang hanya ‘mengedepankan pendidikan ilmu pengetahuan saja'. Dede menyatakan, banyak sekolah yang dewasa ini kurang mengedepankan pendidikan karakter.

"Dan yang ketiga tentu kita lihat kurangnya faktor pendidikan karakter dan akhlak. Masih banyak sekolah-sekolah yang hanya mendorong atau menomorsatukan pendidikan kognitif tanpa mendorong pendidikan akhlak," ucapnya.

Di sisi lain, Dede juga berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku bullying atau perundungan perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku tersebut.

"Kalau kita berbicara anak-anak di bawah usia remaja, kategorinya adalah anak-anak di bawah 18 tahun maka mereka tentunya sanksinya adalah sanksi yang sifatnya pendidikan," urai Dede.

"Tapi kalau sudah dewasa di atas 18 tahun, kita sebut saja kejadian di kampus-kampus itu sudah masuk jalur hukum. Di situ sudah ada undang-undangnya," imbuhnya.