Sudah Naik Penyidikan, Polda Aceh Sebut Ada Keterlibatan Pegawai Bank di Kasus Pemalsuan Dokumen di Bank Syariah
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh Kombes Winardy/ANTARA

Bagikan:

ACEH - Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh mengusut dugaan pemalsuan dokumen pembiayaan perbankan pada Bank Syariah Indonesia Kantor Cabang Sigli, Kabupaten Pidie.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh Kombes Winardy mengatakan, pengusutan tersebut berdasarkan laporan pemilik sertifikat hak milik (SHM) yang dijadikan sebagai dokumen untuk pembiayaan nasabah.

"Kasus ini sedang ditangani penyidik Subdit II Tindak Pidana Fiskal, Moneter, dan Devisa Ditreskrimsus Polda Aceh. Pengusutan kasus ini sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan. Dokumen yang diduga dipalsukan untuk pembiayaan perbankan sebesar Rp1,05 miliar," kata Winardy di Banda Aceh, Antara, Selasa, 27 Juni. 

Pengusutan kasus tersebut berawal dari laporan seseorang berinisial W selaku pemilik SHM yang dijadikan jaminan pembiayaan nasabah berinisial AF pada Bank Syariah Indonesia Kantor Cabang Sigli.

"Pelapor W yang juga adik kandung AF merasa dirugikan karena SHM dijadikan jaminan tersebut dipalsukan dengan juga nama W, istri AF. Nama pemilik SHM dan istri AF memiliki nama yang sama," katanya

Dalam pengusutan, penyidik sudah menyita dokumen pembiayaan seperti akad kerja sama antara pihak perbankan dengan nasabah berinisial AF serta SHM yang dijadikan jaminan atas nama W.

Selain menyita dokumen, penyidik menemukan dugaan keterlibatan oknum pegawai bank berinisial MA yang diduga membuat data palsu pada laporan yang menjadi dokumen persyaratan fasilitas pembiayaan.

"Data yang dipalsukan berupa sertifikat hak milik atau SHM atas nama W diubah datanya atas nama orang lain yang namanya sama. Pemilik SHM menolak sertifikatnya dijadikan jaminan pembiayaan perbankan, sehingga melaporkannya ke Polda Aceh," katanya.

"Dalam kasus ini, penyidik menerapkan Pasal 63 Ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2008 tentang perbankan syariah. Ancaman hukumannya paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun penjara. Denda paling sedikit Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar," kata Winardy.