JAKARTA - India telah menutup 18 perusahaan farmasi menyusul dugaan obat berkualitas buruk, kata menteri kesehatan negara itu, beberapa jam setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan sirup obat batuk tercemar dijual di seluruh dunia, beberapa di antaranya diproduksi di India.
India, yang dikenal sebagai apotek dunia, telah berada di bawah pengawasan yang meningkat sejak tahun lalu, menyusul serangkaian kematian di Gambia dan Uzbekistan yang dikaitkan oleh otoritas lokal dan WHO dengan obat-obatan yang diproduksi di India.
Setidaknya tujuh obat termasuk sirup, parasetamol dan vitamin diduga terkait dengan kematian 300 orang di seluruh dunia.
Menteri Kesehatan India Mansukh Mandaviya mengatakan, 71 perusahaan telah diberi peringatan setelah muncul kekhawatiran di beberapa tempat tentang kematian yang dilaporkan karena sirup obat batuk yang terkontaminasi, dengan18 di antaranya telah diminta untuk ditutup.
"Kami telah melakukan analisis berbasis risiko di lebih dari 125 perusahaan dan tim kami telah mengunjungi fasilitas mereka. Dari jumlah tersebut, 71 perusahaan telah dilayani show-cause notice dan 18 telah ditutup," jelas Menteri Mandaviya, dilansir dari The National News 21 Juni.
Pernyataan tersebut muncul beberapa jam setelah WHO mengumumkan total 20 obat 'beracun', tujuh di antaranya dibuat di India, berdasarkan investigasi yang dilakukan.
Obat-obatan tersebut dicurigai telah menyebabkan lebih dari 300 kematian di Uzbekistan, Gambia, Mikronesia, Kepulauan Marshall dan Indonesia.
Badan ini juga menemukan tujuh obat yang terkontaminasi dari India dan mengidentifikasi perusahaan-perusahaan farmasi yang berbasis di negara bagian utara India, Haryana dan Punjab serta Noida di Uttar Pradesh sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Terkenal sebagai gudang farmasi dunia dengan nilai sektor tersebut mencapai 42 miliar dolar AS, Menteri Mandaviya mengatakan pemerintah menerapkan kebijakan 'tanpa toleransi' dalam masalah ini.
"India tidak akan pernah tawar-menawar dalam hal kualitas obat-obatan. Kami selalu waspada untuk memastikan tidak ada yang meninggal karena obat-obatan palsu," katanya.
India mewajibkan pengujian sirup obat batuk sebelum diekspor mulai bulan ini, setelah kekhawatiran kualitas muncul di luar negeri menyusul kematian 66 anak-anak di Gambia dan 18 di Uzbekistan tahun lalu.
Diketahui, WHO pertama kali mengeluarkan peringatan pada Bulan Oktober tahun lalu, setelah 70 anak, setengah dari mereka berusia antara lima bulan hingga empat tahun, meninggal karena gagal ginjal akut di Gambia.
Kematian itu disebabkan oleh empat sirup obat batuk dan pilek yang dibuat oleh Maiden Pharmaceuticals di negara bagian Haryana, India utara.
India segera meluncurkan penyelidikan dan menghentikan produksi di perusahaan farmasi tersebut, tetapi kemudian mengatakan, sampel sirup obat batuk yang diambil dari Maiden Pharmaceuticals ternyata memiliki "kualitas standar".
Itu juga membuka penyelidikan atas klaim kematian di Uzbekistan.
BACA JUGA:
Menteri Mandaviya mengatakan, New Delhi juga menuntut fakta terkait kematian anak-anak di Gambia, tetapi tidak ada tanggapan.
"Di Gambia, mereka mengatakan 49 anak telah meninggal… kami menulis kepada mereka menanyakan apa faktanya. Tidak ada yang kembali kepada kami dengan fakta ... Kami memeriksa sampel satu perusahaan. Kami mencoba mencari tahu penyebab kematiannya dan kami menemukan bahwa anak tersebut menderita diare. Kalau anak diare, siapa yang merekomendasikan sirup obat batuk untuk anak itu?," urainya.
Pemerintah India sebelumnya mengatakan WHO telah membuat "hubungan prematur antara kematian anak-anak dan sirup obat batuk", yang berdampak buruk pada citra produk farmasi India.