Bagikan:

JAKARTA – Seorang pria warga Jalan Riau Kota Palangka Raya dijadikan tersangka karena menjual tanah miliknya sendiri. Bagaimana bisa? Pria bernama Bachtiar Rahman atau Haji Imron itu dijadikan tersangka oleh penyidik Ditreskrimum Polda Kalteng atas dugaan keterangan palsu dalam akta jual beli tanah.

Dugaan kriminalisasi pun mencuat. Terlebih setelah kepolisian melakukan penangkapan, menjadikannya tersangka lalu ditahan di Polda Kalteng sejak 30 Mei 2023.

Kuasa hukum Imron, Parlin Bayu Hutabarat melaporkan dugaan kriminalisasi tersebut ke Kompolnas, Bareskrim Mabes Polri, dan Divisi Propam Polri. Tak hanya itu, kuasa hukum Imron juga melapor ke Komnas HAM, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopohukam), dan Indonesia Police Watch (IPW).

"Kami telah laporkan kriminalisasi ini kepada enam lembaga untuk mendapatkan keadilan bagi Haji Imron. Dokumen dan kronologi mengenai kasus ini sudah kami berikan. Kami juga telah menerima tanda terima penyerahan berkas laporan," kata Parlin Bayu Hutabarat di Mabes Polri, Kamis, 8 Juni.

"Klien saya Bachtiar Rahman atau Haji Imron ditetapkan tersangka dengan dugaan tindak pidana memberikan keterangan palsu Pasal 226 KHUP dalam Akta Jual Beli (AJB) tanggal 4 April 2022 yang dibuat di hadapan notaris Pioni Noviari," sambungnya.

Menurut Parlin, persoalan yang dihadapi kliennya adalah peristiwa hukum perdata yang tidak bisa ditarik ke ranah hukum pidana. Karena itu, masih kata Parlin, penetapan tersangka ini wujud kriminalisasi oleh lembaga penegak hukum.

Polda Kalimantan Tengah dan pihak perusahaan belum memberikan keterangan resmi terkait kasus ini. Sementara itu, Direktur Kriminal Umum Polda Kalteng Kombes Pol Faisal F Napitupulu yang dihubungi oleh wartawan belum memberikan jawaban.

Lebih lanjut, mengenai kronologi kasus ini Parlin menceritakan, awalnya Haji Imron menyewakan lahan miliknya kepada salah satu perusahaan tambang batu bara atau disebut PT STP. Perjanjian sewa itu berlaku sejak 30 September 2019 hingga 29 September 2031 berdasarkan perjanjian sewa lahan yang dibuat di hadapan notaris Irwan Junaidi.

Ada empat termin pembayaran sewa lahan yang disepakati kedua pihak. Dua termin pembayaran sewa lahan berjalan lancar.

Masalah muncul saat jatuh tempo pembayaran sewa lahan termin ketiga. Saat Imron menagih pembayaran sewa lahan, pihak STP menolak membayar dengan alasan telah mengeluarkan biaya untuk pengurukan dan penimbunan lahan yang harusnya tidak menjadi persoalan dalam pernjanjian sewa menyewa.

Karena membutuhkan uang untuk membayar tagihan usahanya, Imron menawarkan secara lisan ke pihak STP untuk membeli saja lahannya itu. Namun pihak STP menolak tawaran tersebut.

Akhirnya Haji Imron menjual lahan yang disewakan kepada STP tersebut kepada seorang bernama Tan Rika Hadisubroto. Pihak STP mengetahui penjualan ini.

Penjualan tercatat dalam akta jual beli antara Imron dengan Tan Rika Hadisubroto di depan Notaris Pioni Noviari pada 4 April 2022, ada ketentuan bahwa lahan tersebut bisa dimiliki secara fisik oleh pembeli (Tan Rika) setelah jangka waktu sewa lahan oleh STP berakhir.

"Artinya STP masih menguasai lahan tersebut sampai saat ini dan STP tidak ada kerugian sama sekali," kata Parlin.

Setelah tahu telah terjadi jual beli lahan, pada 15 Juli 2022 Direktur STP malah melaporkan imron ke Polda Kalteng dengan tuduhan pidana penipuan. Imron pun mengajukan gugatan perdata ke PN Palangkaraya pada 17 Oktober 2022. Gugatan itu didaftarkan untuk membatalkan perjanjian sewa Imron dan STP.

"Sampai saat ini persidangan perdata masih berlangsung," kata kuasa hukum Haji Imron lainnya, MH Roy Sidabutar.

Pada 20 Januari 2023, ujar Parlin, kliennya mendapat surat panggilan dari Polda Kalteng untuk diperiksa terkait laporan STP. Polda Kalteng kemudian menetapkan Haji Imron sebagai tersangka pada 23 Mei 2023.

"Klien kami lalu ditangkap dan ditahan pada 30 Mei 2023," sambung Roy.

Menurut Parlin, tanah milik kliennya digunakan sebagai pelabuhan dan sesuai surat perjanjian sewa menyewa lahan berdasarkan Pasal 1548 KUHPerdata. Namun anehnya, imbuh Parlin, Polda Kalteng memaksakan untuk menggunakan hukum pidana.

"Padahal, PT STP yang justru wanpretasi atau tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar biaya sewa lahan namun masih menggunakan lahan tersebut. Ini jelas kriminalisasi dan melanggar HAM klien kami," tegas Parlin.