JAKARTA - Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo menyampaikan TNI AU berencana ikut mengkaji pertahanan udara di Ibu Kota Nusantara (IKN) sekaligus mempelajari hasil kajian yang dibuat oleh lembaga lain.
Dari kajian itu, TNI AU mengusulkan kepada pemerintah mengenai alutsista dan teknologi yang memadai untuk pertahanan udara di IKN.
“Ke depannya, kami juga membuat kajian, dan kami juga mempelajari kajian-kajian yang dibuat oleh lembaga-lembaga lain, dan kami juga terus berkomunikasi dengan Kementerian Pertahanan, memberi masukan seperti apa yang kira-kira suitable (cocok) untuk pertahanan udara di IKN, karena itu juga menyangkut anggaran, teknologi (apa yang cocok) 20 tahun, 30 tahun ke depan, kira-kira seperti apa,” kata KSAU dilansir ANTARA, Rabu, 31 Mei.
Dari beberapa usulan yang disampaikan TNI AU ke Kementerian Pertahanan, salah satunya terkait penggunaan alutsista dan teknologi buatan dalam negeri.
“Tentunya, masukan kami juga melibatkan produk dalam negeri, karena kita harus semakin mandiri di situ ya,” kata Kasau.
Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia yang juga mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim pada minggu lalu (25/5) menyoroti kerawanan wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) terutama dari sisi perairan dan ruang udara.
Chappy menjelaskan wilayah Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur berada di wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II yang merupakan perairan terbuka sebagaimana diatur dan dilindungi dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Walaupun demikian, Chappy menjelaskan masih ada perdebatan (dispute) dalam memahami keterbukaan wilayah perairan yang diatur UNCLOS dengan kedaulatan ruang udara suatu negara yang disepakati oleh negara-negara dalam Konvensi Chicago 1944.
BACA JUGA:
"IKN berdekatan dengan ALKI alur laut kepulauan Indonesia, dan kalau bicara ALKI kita bicara hukum udara internasional, hukum laut internasional, dan masih ada dispute di situ. UNCLOS memberi pengakuan kita sebagai negara kepulauan dengan satu imbalan-nya, persyaratan-nya, kita harus memberikan innocent passage. Kita harus memberi jalur bebas melintas. Itu hukum laut," tutur Chappy Hakim.
Namun, hukum udara internasional, sebagaimana disepakati dalam Konvensi Chicago 1944, tidak mengenal ruang udara yang bebas.
Dia menjelaskan persoalan muncul karena innocent passage (perairan bebas dan terbuka) yang diatur oleh UNCLOS juga memfasilitasi pesawat-pesawat yang diangkut kapal-kapal untuk terbang dan melintas.
"Hukum udara internasional tidak mengenal itu. Hukum udara internasional tidak mengenal innocent passage, tidak mengenal jalur bebas. Itu sebabnya kerawanan IKN akan bertambah dengan adanya alur laut kepulauan Indonesia, yang ALKI II," ujar Chappy Hakim.
Dia menilai kerawanan ruang udara IKN bertambah ketika ada ancaman penerbangan liar/penerbangan tanpa izin, misalnya, yang melintas dari kawasan Selat Malaka.
"Kita sulit mendeteksi karena di wilayah Selat Malaka wilayah kedaulatan kita pengelolaannya didelegasikan ke negara lain untuk 25 tahun, dan (dapat) diperpanjang," kata dia.
Indonesia pada awal 2022 mengambil alih sebagian pelayanan ruang udara (FIR) di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna yang sebelumnya dikelola oleh Otoritas Navigasi Penerbangan Singapura mulai dari ketinggian 37.000 kaki ke atas.
Namun, Singapura masih mengelola dan menggunakan ruang udara Indonesia ketika pesawat lepas landas dari bandara Singapura karena Pelayanan jasa penerbangan (PJP) di ketinggian 0-37.000 kaki didelegasikan kepada Singapura selama 25 tahun ke depan dan itu dapat diperpanjang.
Sejak 1946, sebagian FIR wilayah Barat Indonesia, yaitu di Kepulauan Riau, Tanjungpinang, dan Natuna berada di bawah kendali Singapura. Kondisi itu membuat pesawat Indonesia harus melapor ke otoritas Singapura jika ingin melintas wilayah tersebut.