JAKARTA - Mahkamah Konstitusi menyatakan kewenangan jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali (PK), sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 30C huruf h, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan dilansir ANTARA, Jumat, 14 April.
Menurut MK, wewenang jaksa dalam mengajukan PK tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi kewenangan ini juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh jaksa, khususnya dalam hal pengajuan PK terhadap perkara yang notabene telah dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Sebelumnya, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016, MK telah nyatakan jaksa tidak berwenang mengajukan PK, tetapi hanya terpidana atau ahli warisnya.
"Mahkamah perlu menegaskan kembali perihal empat landasan pokok yang tidak boleh dilanggar dan ditafsirkan selain apa yang secara tegas tersurat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP," ucap Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul.
BACA JUGA:
Adapun empat landasan pokok tersebut, yaitu: peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Selanjutnya, permohonan PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya; dan keempat adalah PK hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.
"Oleh karena itu, berkenaan dengan norma Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Nomor 11 Tahun 2021, telah ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam empat landasan pokok untuk mengajukan PK," ujar Manahan.
Gugatan ini diajukan oleh seorang notaris Hartono dengan nomor perkara 20/PUU-XXI/2023.