Bagikan:

JAKARTA - Ketua DPR Puan Maharani mengapresiasi aksi mahasiswa yang mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di depan gedung MPR/DPR/DPD.

Sejalan dengan itu, DPR juga membatalkan rapat pengesahan Revisi UU Pilkada dan menghormati putusan MK. 

“DPR RI sebagai lembaga negara yang juga lembaga politik, akan tetap mendudukkan kepentingan negara yang lebih besar, selaras dengan konstitusi, menghormati kewenangan lembaga-lembaga negara, dan tetap memperhatikan seluruh dinamika yang berkembang serta aspirasi dari rakyat,” ujar Puan dalam keterangannya, Kamis, 22 Agustus. 

Puan mengingatkan, DPR sebagai lembaga negara harus menjalankan tugas sesuai konstitusi. Ketua DPP PDIP itu memastikan, DPR akan terus mencermati berbagai pandangan atas putusan MK mengenai UU Pilkada.

“Sebagai lembaga negara, fungsi dan kewenangan DPR RI diatur oleh UU, agar dapat menjalankan kedaulatan rakyat secara demokratis,” tegas cucu Proklamator RI itu. 

Karena itu, Puan berterima kasih atas sikap masyarakat Indonesia yang turut mengawal dan melakukan kontrol terhadap fungsi dan kewenangan DPR sebagai pembuat UU. 

“Terima kasih atas aspirasi seluruh elemen masyarakat, para mahasiswa, guru besar, para aktivis, serta para selebritas. Negara yang demokratis akan selalu membuka ruang bagi partisipasi setiap elemen masyarakat untuk ikut menyampaikan aspirasi dan bahkan melakukan fungsi kontrol sosial,” katanya.

Mantan Menko PMK itu juga mengajak semua pihak untuk bekerja demi Indonesia yang semakin maju, sejahtera, dan berkeadaban. Menurutnya, DPR memiliki kekuasaan juga atas restu dari rakyat.

“Kekuasaan DPR RI bersumber dari rakyat, oleh karena itu DPR RI akan selalu menjaga amanat rakyat dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya,” tegas Puan.

Seperti diketahui, MK mengabulkan sebagian gugatan terhadap UU Pilkada dan menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.

Lewat putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK mengubah aturan pada Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan di Pilkada. MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional.

Dengan putusan MK, ambang batas pengajuan paslon yang akan berkontestasi dalam Pilkada serentak berubah dari 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen suara sah Pileg menjadi mulai dari 6,5 persen sampai paling tinggi 10 persen yang diklasifikasikan berdasarkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) masing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

Tak hanya soal aturan ambang batas pencalonan, MK juga memutuskan gugatan soal syarat usia calon kepala daerah. MK menolak gugatan mengenai pengujian ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah.

Dari putusan itu, MK menegaskan syarat batas usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wali kota dihitung sejak penetapan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah oleh KPU, bukan saat pelantikan calon terpilih.