JAKARTA - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menilai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa layak untuk direvisi.
"Setidaknya ada tujuh alasan kenapa harus dilakukan revisi UU Desa yang telah berusia hampir sepuluh tahun tersebut," ujar Mendes PDTT dalam webinar Urgensi Evaluasi Undang-Undang Desa di Tengah Hiruk Pikuk Pemilu 2024 yang digelar Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) secara daring, Senin 10 April, disitat Antara.
Ia mengungkapkan tujuh hal itu, yakni status desa dalam tata kelola pemerintahan NKRI, kewenangan desa dan pemerintah desa dalam mengatur dan mengurus rumah tangga desa dan kepentingan masyarakat desa, alokasi dana pembangunan desa yang bersumber dari APBN.
Kemudian, status kepala desa dan perangkat desa, operasional pemerintahan desa, kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa, dan arah kebijakan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
Dalam kesempatan itu, ia menekankan bahwa masa jabatan kepala desa bukan isu utama yang menjadikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa untuk direvisi.
"Urusan masa jabatan kepala desa adalah hal yang sangat teknis dan sebagian kecil dari kebutuhan untuk revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa," tutur Mendes PDTT.
BACA JUGA:
Ia mengatakan, pemerintah desa perlu ruang yang luas untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan pembangunan di desa, di antaranya untuk membuat perencanaan dan pemanfaatan dana desa yang menggunakan data terkini, baik daftar potensi maupun masalah desa sebagai dasarnya.
Ia mengharapkan revisi UU Desa dapat mempertajam status kepala desa beserta perangkatnya. Dengan demikian, kepala desa dapat bergerak lebih luas untuk melakukan komunikasi dengan masyarakat tanpa diganggu oleh hal-hal yang berkaitan dengan administrasi.
"Kepala desa butuh banyak anggaran untuk melakukan komunikasi, pembinaan masyarakat, dan dana operasional untuk pemerintahan desa," kata Mendes PDTT.
Ia menyampaikan, sejak 2023 kepala desa dapat memanfaatkan tiga persen dari total dana desa untuk kebutuhan operasional pemerintah desa. Namun demikian, sistem pertanggungjawabannya masih diupayakan oleh Kemendes PDTT agar berbentuk lumpsum, bukan at-cost sehingga tidak memberatkan kepala desa.