JAKARTA - Lebih dari 50 cheetah yang diselamatkan dari perdagangan satwa liar ilegal telah dipindahkan ke sebuah kompleks di Somaliland, Afrika Timur, di tengah laporan yang mengungkapkan bahwa permintaan global akan hewan peliharaan eksotis masih tinggi.
Dua saudara kandung, Cizi dan Bagheer, yang dibawa ke Cheetah Conservation Fund saat masih kecil diselamatkan oleh Pemerintah Somaliland pada tahun 2020 dan menjadi salah satu yang pertama kali menempati Pusat Penyelamatan dan Konservasi Cheetah Somaliland di Geed-Deeble.
Proyek pemerintah ini, yang merupakan hasil dari kemitraan jangka panjang dengan Cheetah Conservation Fund, adalah salah satu yang pertama di Afrika Timur.
Kakak beradik ini telah bergabung dengan 50 anak cheetah lainnya di lokasi seluas 800 hektar, yang semuanya diselamatkan dari perdagangan hewan peliharaan ilegal dalam beberapa bulan terakhir.
Sebanyak 37 cheetah lainnya, yang diselamatkan dari para pedagang dan saat ini berada di rumah aman, akan bergabung dengan kompleks tersebut, yang juga berfungsi sebagai pusat penelitian dan pelatihan, sekitar satu jam di luar Hargeisa.
"Kami sangat senang dengan hasil pemindahan ini," kata Dr Laurie Marker, pendiri dan direktur eksekutif Cheetah Conservation Fund, dilansir dari The National News 5 April.
"Anak-anak cheetah yang kami pindahkan tinggal di kandang manajemen mereka yang besar selama satu atau dua hari untuk menyesuaikan diri dengan area baru mereka," sambungnya.
"Kemudian para penjaga mereka menyaksikan dengan gembira saat mereka dilepaskan ke kandang mereka yang luas dan [mereka] telah menyesuaikan diri dengan baik," tandasnya.
Cheetah, yang terdaftar sebagai spesies Apendiks 1 dalam Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Terancam Punah, sebagian besar diambil dari alam liar di daerah Tanduk Afrika untuk memasok perdagangan hewan peliharaan ilegal.
Sejak tahun 2011, Cheetah Conservation Fund telah membantu Pemerintah Somaliland dalam merawat cheetah yang dicegat dari para pedagang.
Terpisah, laporan terbaru dari Counter Extremism Project (CEP), sebuah LSM nirlaba yang memantau aliran dana untuk terorisme dan ekstremisme, menemukan bahwa perdagangan satwa liar ilegal mengalami kebangkitan pasca pandemi.
Perdagangan ilegal hewan dan bagian tubuh mereka telah berkembang hingga mencapai nilai tahunan sebesar 23 miliar dolar AS, menghancurkan populasi hewan dan mendorong spesies seperti gajah, badak, dan cheetah menuju kepunahan.
Sementara, laporan Extinction Inc dari CEP menunjukkan bagaimana para pemburu dan penyelundup beradaptasi dengan cepat selama pandemi, mengeksploitasi taman nasional yang bebas dari turis sembari memindahkan pemasaran dan penjualan secara online.
Munculnya COVID-19 melumpuhkan anggaran taman nasional, sehingga membatasi jumlah penjaga hutan yang bertugas untuk melindungi satwa liar.
Di Taman Nasional Garamba, sebuah kawasan seluas 5.000 kilometer persegi di Republik Demokratik Kongo, 25 persen penjaga hutan pernah kehilangan pekerjaan, sebuah pola yang lazim terjadi di seluruh Afrika.
"Gerombolan pemburu gading dan kuli angkut menyeberangi perbatasan dengan Kamerun, bekerja secara langsung untuk para pedagang berskala lebih besar," ungkap Menteri Air, Hutan, Laut dan Lingkungan Gabon Lee White kepada para penulis laporan tersebut.
"Sejumlah kecil individu mengendalikan jaringan perdagangan besar. Beberapa di antaranya memberikan uang kepada kelompok-kelompok ekstremis," lanjutnya.
BACA JUGA:
Diketahui, upaya anti-penyelundupan benar-benar kewalahan oleh pertumbuhan besar perdagangan internasional dan lalu lintas penumpang.
Selain mendanai ekstremisme, pengiriman produk hewan secara ilegal merupakan pintu masuk utama bagi penyakit zoonosis yang dapat berpindah dari hewan ke manusia.
Menurut Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC), tiga dari empat penyakit menular yang baru atau yang sedang berkembang adalah zoonosis.