Bagikan:

JAKARTA - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta sekitar 3.300 stafnya di Afghanistan untuk tidak bekerja selama dua hari ke depan, setelah pihak berwenang Taliban mengisyaratkan pada Hari Selasa, mereka akan memberlakukan larangan bagi perempuan Afghanistan untuk bekerja di badan dunia tersebut.

Para pejabat PBB di Afghanistan "menerima kabar adanya perintah dari pihak berwenang de facto yang melarang staf nasional perempuan PBB untuk bekerja," ujar juru bicara PBB Stephane Dujarric kepada para wartawan di New York, dikutip dari The National News 5 April.

PBB sedang mencari tahu dampak-dampaknya dan akan bertemu dengan para pejabat Kementerian Luar Negeri Afghanistan di Kabul pada Hari Rabu, untuk mencari kejelasan lebih lanjut, katanya.

Dikatakan, ada sekitar 400 perempuan Afghanistan bekerja untuk PBB.

Sementara itu, dua sumber PBB mengatakan kepada Reuters, kekhawatiran atas penegakan hukum telah mendorong organisasi tersebut untuk meminta semua staf, laki-laki dan perempuan, untuk tidak masuk kerja selama 48 jam.

Jumat dan Sabtu biasanya merupakan hari libur akhir pekan di Afghanistan, yang berarti staf PBB tidak akan kembali hingga Hari Minggu paling cepat.

Sebelumnya, misi PBB di Afghanistan (UNAMA) pada Hari Selasa menyatakan keprihatinannya, terkait larangan bekerja yang dialami staf perempuan di Provinsi Nangarhar.

"Ada lebih banyak komunikasi resmi yang dilakukan di (Ibu Kota Provinsi Nangarhar) Jalalabad. Kami diberitahu melalui berbagai saluran bahwa hal ini berlaku di seluruh negeri," terang Dujarric.

"Anggota staf perempuan sangat penting bagi PBB untuk memberikan bantuan penyelamatan jiwa," tandasnya, menambahkan bahwa sekitar 23 juta orang, lebih dari separuh populasi Afghanistan, membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Terpisah, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengutuk pemberlakuan larangan di Nangarhar, melalui sebuah unggahan di Twitter: "Jika tindakan ini tidak dibatalkan, maka akan merusak kemampuan kita untuk memberikan bantuan penyelamatan nyawa kepada orang-orang yang membutuhkannya."

Sementara itu, Pemerintahan Taliban, yang mengambil alih kekuasaan ketika pasukan pimpinan AS menarik diri dari Afghanistan setelah 20 tahun perang, mengatakan mereka menghormati hak-hak perempuan sesuai dengan interpretasi ketat mereka terhadap hukum agama.

Sejak menggulingkan pemerintah yang didukung Barat di Kabul, Taliban telah memperketat kontrol atas akses perempuan ke kehidupan publik, termasuk melarang perempuan masuk universitas dan menutup sebagian besar sekolah menengah atas.

Pada bulan Desember, pihak berwenang Taliban menghentikan sebagian besar karyawan bantuan kemanusiaan perempuan untuk bekerja, yang menurut para pekerja bantuan telah mempersulit upaya menjangkau perempuan yang membutuhkan dan dapat membuat para donor menahan pendanaan.

Pembatasan ini awalnya tidak berlaku untuk PBB dan beberapa organisasi internasional lainnya. Pada bulan Januari, Wakil Sekretaris Jenderal PBB Amina Mohammed menandai kekhawatiran, pihak berwenang selanjutnya dapat membatasi perempuan Afghanistan yang bekerja di organisasi internasional.