Bagikan:

JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M Jamiluddin Ritonga menilai, ada peran istana yang dilakukan secara sistematik untuk merealisasikan pembentukan koalisi besar guna menghadapi Pilpres 2024.

Hal itu terindikasi dari beberapa pertemuan politik yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan. 

Pertama, manuver Luhut Binsar Pandjaitan yang diam-diam menemui Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum NasDem Surya Paloh.

Namun Luhut hanya berhasil mendekati Prabowo, sementara Surya Paloh tetap pada sikap mengusung Anies Baswedan sebagai bacapres 2024.

"Dua ketum ini ditemui Luhut. Tampaknya, untuk menggalang partai politik tetap masuk dalam pusaran Istana," ujar Jamiluddin, Rabu, 5 April. 

Kemudian yang tengah ramai, Presiden Jokowi bertemu dengan lima ketua umum partai pendukung pemerintah di kantor PAN. Lima parpol itu sudah membentuk koalisi yakni Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Golkar, PAN dan PPP, kemudian Gerindra dan PKB yang sudah membangun Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).

Meski mendukung gagasan pembentukan koalisi besar, namun Jokowi mengaku menyerahkan keputusan kepada para ketum. Menurut Jamiluddin, Jokowi punya harapan terhadap lima partai itu untuk membentuk koalisi besar dan mengajak PDIP. 

"Jadi wacana Koalisi Besar ini terkesan memang sudah dirancang Istana. Partai pendukung pemerintah, minus PDIP, sengaja diarahkan untuk meneruskan arah politik yang diinginkan Jokowi," kata Jamiluddin. 

Kendati demikian, tambah Jamiluddin, Jokowi tidak mau terang-terangan mendukung Koalisi besar lantaran tidak mau berhadapan dengan Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri.

"Tentu manuver itu dilakukan Jokowi dengan abu-abu. Jokowi tentu tidak akan mau frontal berhadapan dengan PDIP, khususnya Megawati Soekarnoputri," kata Jamiluddin.